Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Utang dan Derita Petani India, Bom Waktu yang Siap Meledak

Kompas.com - 31/03/2019, 22:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAKAH benar Pakistan adalah ancaman eksistensial bagi India? Salah.

Dengan jumlah populasi yang hanya seperempat dari tetangganya, ekonomi yang hancur dan sistem politik yang tidak berfungsi dengan baik, Pakistan kurang lebih hanyalah sebuah tantangan strategis atau faktor kecil dalam situasi geopolitik India.

Oleh karena itu, ketika dunia internasional terobsesi dengan eskalasi pertikaian antara dua kekuatan nuklir ini, penting untuk mengingat alasan sesungguhnya dari ketegangan yang terjadi: Pemilihan Umum India yang akan datang.

Dan memang betul bahwa Perdana Menteri Narendra Modi sedang menghadapi ancaman eksistensi, namun ancaman ini datang dari sosok yang kurus kering, berkulit gelap bernama Shantabai Teral.

Ia adalah seorang janda petani 40 tahun-an dari daerah penanaman kapas di Vidarbha. Daerah yang kering ini terletak di ujung timur negara bagian Maharashtra yang besar dan padat di tengah India.

Baca juga: Kasta, Kepercayaan, dan Konflik di Balik Perpolitikan India

Petani seperti Shantabai membentuk 58 persen dari seluruh populasi India. Namun, selama empat tahun terakhir PM Modi berupaya meningkatkan potensi Republik ini (ingat slogan “Make in India”?) sehingga ekonomi agraria— dan juga perspektif Gandhi yang menekankan desa-desa kecil sebagai sumber kesuksesan—hampir seluruhnya diabaikan.

Bahkan di antara para petani sekali pun, mayoritasnya (± 86,2 persen) hanya memiliki tanah kurang dari satu hektar – hal ini membuat bertahan hidup saja sangat sulit.

Kerabunan pemerintah terhadap realita ini tidak mengejutkan. Persepsi dunia dari Partai Bharatiya Janata (BJP) memang memikat, namun pada akhirnya hanya sebatas delusi dari gabungan pemikiran kasta atas Brahmana dan pola pikir jangka pendek kasta pedagang Baniya – didorong oleh milyarder Gujarati seperti keluarga Ambani dan Adani.

Kini, dengan pemilihan umum yang sudah menghitung minggu dan ditambah dengan prospek kekalahan yang cukup tinggi, PM Modi dan sekutunya berusaha keras untuk meningkatkan semangat nasionalis – pada dasarnya apapun yang bisa dilakukan untuk menutupi kegagalan mereka dalam menenangkan komunitas petani yang semakin garang.

Bahkan, pada akhir tahun lalu, serangkaian unjuk rasa besar di Mumbai dan Delhi membawa rasa frustasi di pedesaan ini ke level nasional – memberikan momentum yang menyebabkan kekalahan pemilu bagi pemerintah BJP di negara bagian Rajasthan, Chhattisgarh dan Madhya Pradesh.

Peristiwa ditembak matinya lima petani dalam demonstrasi di kota Mandsaur, Madhya Pradesh, pada Juni 2017 silam merupakan puncak dari bagaimana pemerintah India telah mengabaikan para petani ini.

Sementara itu untuk Shantabai—ibu dari dua anak yang berusia cukup untuk menikah—keadaan saat ini tetap suram seperti biasanya.

Ia berdiri di sebelah sumur dalam yang digali oleh pihak berwenang di atas tanahnya ketika menjelaskan dengan gusar bahwa air berlumpur di dasar sumur akan kering pada bulan Maret. Dan tanpa pompa elektrik, ia tidak akan bisa menyirami ladangnya.

Kain sari-nya yang berwarna merah terang terlihat sangat mencolok di kulitnya yang terbakar matahari. Terlihat jelas bahwa ia membiarkan dirinya kelaparan untuk memastikan anak-anaknya makan dengan benar.

Baca juga: Mewahnya Perayaan Ardha Kumbh, Cara Narendra Modi Gaet Suara dari Allahabad

Ramesh—anak lelaki Shantabai yang berumur 20 tahun dan telah menjadi buruh harian sejak umur 15 tahun—memandang ibunya dengan penuh hormat. Shantabai kemudian mengenang kembali ke hari, lebih dari satu dekade lalu, ketika suaminya memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com