WAKTU menunjukkan jam 5 sore di hari Rabu, dan jalanan Yangon hampir sunyi senyap. Matahari terbenam cukup awal di kota berpenduduk 7.36 juta ini.
Untungnya, karena musim dingin, cuaca lebih dingin dan kering dari pada waktu lainnya.
Menjelang malam, ketika mendatangi salah satu kota dengan kemacetan paling disruptif di Asia ini – banyak mobil dengan setir kiri dan kanan di jalanan – Tim Ceritalah harus bernaung di sebuah café di daerah Tamwe yang cenderung untuk golongan menengah. Letaknya di timur pusat kota Yangon.
Myo Zaw Khant adalah seorang asisten bankir berusia 26. Berbeda dengan kekacauan di luar, dia menunjukkan sikap profesional yang kalem melalui longyi (kain tradisional katun seperti sarung) dan kemeja tanpa kerahnya.
Senyumnya malu-malu, namun pembawaannya terlihat tegas. “Ko” (sinonim dengan “Mas” atau “Pak”) Khant berasal dari Mawlamyine, sebuah kota pelabuhan lama dan bekas benteng pertahanan pasukan Inggris, sekitar 300 km tenggara dari ibu kota.
Baca juga: Ketika Azan Berkumandang di Pusat Kota Yangon
“Saya sudah menjadi bankir selama dua tahun. Saya memulainya dari menjadi teknisi komputer. Saya selalu suka teknologi dan komputer,” tutur Khant mengawali ceritanya.
Ia memiliki tiga saudara laki-laki dan saat ini belum menikah. Penggemar klub sepak bola Inggris, Manchester United (ia bermain sepak bola setiap akhir pekan dan menjauhi klub malam) ini pindah ke Yangon sekitar 9 tahun lalu.
Khant beruntung karena orangtuanya membeli sebuah apartemen bertahun-tahun yang lalu di Dawbon, daerah tenggara Yangon. Sehingga, ia dapat berhemat dengan tidak membayar sewa apartemen. Ia pun hanya bersepeda ke kantornya yang berjarak 2 km, dan hanya memakan waktu sekitar 20 menit.
“Saya belum mampu membeli mobil. Dengan bersepeda juga saya jadi bisa menyelip di antara kemacetan,” ujarnya.
Myo Zaw Khant bukan yang pertama di keluarganya yang bekerja sebagai pegawai kantoran (white collar job). “Ayah saya adalah pegawai negara sipil (PNS), sekarang dia sudah pensiun dan bekerja sebagai petani. Ibu saya masih bekerja sebagai penjahit di kota,” katanya.
Pekerjaannya sebagai bankir tak hanya sekdar akutansi. “Selain mengelola uang, saya juga membantu operasional teknis bank, seperti sistem online banking. Kadang saya membenahi permasalahan teknis dan keluhan pelanggan, yang tidak terlalu menyenangkan,” tuturnya.
Sistem keuangan Myanmar memiliki periode naik turunnya. Krisis perbankan pada 2003 memicu kepanikan rakyat untuk menarik uangnya. Harga aset pun berjatuhan.
Tapi bisakah itu berubah? “Kepercayaan? Mungkin nanti ya, akan lebih banyak orang mulai menyimpan uangnya di bank dari pada di rumah. Saya sendiri bisa menyimpan sekitar 150 dollar AS per bulan, karena saya tidak perlu bayar sewa yang rata-rata sekitar 75 dollar AS per bulannya. Saya masukan di akun bank saya,” Khant bercerita.
Baca juga: Phyo Min Thein, Kepala Menteri Yangon yang Menjadi Perhatian
Survei VISA pada Agustus 2017 di lima pusat urban – termasuk Yangon dan Mandalay, menemukan bahwa 49 persen orang dewasa tertarik untuk membuka sebuah akun bank.