Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Kerisauan Guru Bahasa Melayu di Thailand Selatan

Kompas.com - 18/12/2018, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAGAIMANA Anda bisa mengajar ketika kekerasan ada di mana-mana? Bagaimana Anda bisa memberi harapan, sekaligus mengajarkan kedisiplinan dan ketertiban kepada generasi muda–dalam hal ini siswa SMA?

Che-Ruhanee Asma-ae adalah seorang guru Bahasa Melayu berumur 34 tahun di Srinagarindra Princess Mother School, Provinsi Yala bagian selatan yang kerap dilanda banyak masalah. Terlahir di provinsi tetangga, Pattani, Cikgu (“guru”) Che dikenal murid-muridnya sebagai sosok yang tenang dan bertekad kuat.

“Bahasa menunjukan siapa kita. Bahasa berbeda dengan agama, sebab bahasa melampaui segala keyakinan dan itulah sisi indahnya. Seseorang yang beragama Buddha bisa berbahasa Melayu, dan tidak ada yang salah dengan itu. Jadi bila orang Muslim bisa berbahasa Thai, yang lain pun bisa berbahasa Melayu, bukan?” katanya.

Bertolak belakang dengan wilayah Thailand lain yang mayoritas beragama Buddha dan berbahasa Thai, tiga provinsi selatan Thailand (Yala, Pattani, dan Narathiwat) mayoritas Muslim dan berbahasa Melayu.

Tiga provinsi ini juga telah dilanda aksi pemberontakan terlama di Asia Tenggara (bermula di awal 1960), yang dipicu oleh kebijakan asimilasi yang insensitif dan diterapkan secara kasar.

Sama halnya dengan Myanmar, Filipina dan negara ASEAN lainnya yang terus bergulat dengan hak minoritas, Thailand juga harus menempuh pengalaman kompleks yang seringkali berujung pahit.

Baca juga: Thailand Selatan Takkan Aman tanpa Libatkan BRN, Faksi Pemberontak Melayu

Isu bahasa, agama, dan budaya bagaikan duri di dalam daging. Isu ini pun telah menjadi pembakar masalah di wilayah selatan Thailand. 

Korban atas kejadian ini telah surut dan mengalir selama berpuluh-puluh tahun. Meski berkali-kali diupayakan, perdamaian sulit tercapai.

Pada 2007, korban meninggal memuncak hingga 892 jiwa – hal ini merupakan aksi pembalasan atas pembantaian berdarah di Tak Bai pada 2004 yang membunuh 85 orang. Untungnya, sejak itu aksi kekerasan telah menurun cukup signifikan dan sejauh ini di 2018, jumlah korban berada di titik terendah dengan 61 meninggal dan 130 luka-luka.

Seorang aktivis yang bersuara lantang sejak kuliah, Cikgu Che tidak takut untuk mempertahankan keyakinannya, terutama Bahasa Melayu sebagai identitas konstituen.Ceritalah/Wan Muhaimin Seorang aktivis yang bersuara lantang sejak kuliah, Cikgu Che tidak takut untuk mempertahankan keyakinannya, terutama Bahasa Melayu sebagai identitas konstituen.
Walaupun ingin bersifat optimistis, sayangnya pemerintahan Malaysia yang baru di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohamad tidak akan membawa banyak perubahan.

Dengan lebih dari 7.000 korban jiwa sejak 2004, tentu perlu diingat hampir seluruh konflik berawal dari isu identitas – agama dan bahasa. Sehingga mau tidak mau, para guru – terutama guru bahasa Melayu – berada di garda terdepan.

Cikgu Che yang selalu berpakaian rapi adalah sosok pekerja keras. Dia bercerita, “Saya guru yang sangat bangga. Saya telah mengajar lebih dari dua tahun. Saya juga menjadi petugas kesejahteraan fakultas," katanya.

"Ada sekitar 100 murid yang saya didik di Mathayom 5 dan 6 (setara kelas 2 dan 3 SMA). Mereka berbicara bahasa Melayu Pattani di rumah, tapi di sekolah mereka belajar Bahasa Melayu resmi, seperti di Malaysia. Walau hanya kelas tambahan, saya mengajar dengan serius seperti halnya dengan para murid,” lanjut dia.

Baca juga: Mengapa Militer Pasang Gambar Teletubbies di Pos Thailand Selatan?

Bagi yang tidak tahu, Melayu Pattani adalah dialek lokal yang digunakan oleh mayoritas 2,03 juta penduduk di wilayah ini. Nadanya yang lirih sangat mirip dengan logat Melayu di Kelantan, wilayah Malaysia yang berada di perbatasan selatan Thailand.

Saat ini keterbukaan terhadap bahasa lokal sangat bertolak belakang dengan ketika dirinya masih muda. Dulu, murid didenda bila ketahuan menggunakan bahasa Melayu. Dispensasi kecil seperti ini telah meredakan, namun belum menghentikan, ketegangan yang terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com