Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Ketika Korban Topan Haiyan Menanti Janji Pemerintah Filipina

Kompas.com - 07/12/2018, 15:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LIMA tahun yang lalu, Topan Haiyan, salah satu badai tropis terbesar, memorakporandakan Filipina. Sekitar 6.300 orang meninggal dunia, 26.000 luka-luka, empat juta penduduk harus mengungsi dan mengakibatkan kerugian lebih dari 9 juta dolar Amerika Serikat.

Bagi Richelle Alvaraz, ibu dari enam anak yang tinggal di Kota Tacloban, Visayan, wilayah Filipina yang paling parah menderita kerusakan, tidak akan bisa melupakan badai berkecepatan 380 kilometer per jam yang disebut Topan Yolanda.

Apalagi setelah lima tahun berjalan, Richelle dan ribuan korban lainnya masih saja menunggu pemerintah Filipina mewujudkan janji-janjinya, yang tak terhitung jumlahnya, untuk menempatkan mereka di perumahan permanen.

Duduk termangu sedih di depan gubuknya, ibu tunggal ini (suaminya dipenjara atas dugaan kepemilikan narkoba) mengingat keheningan sesaat sebelum badai menerjang kampung halamannya, kota berpopulasi 240.000 penduduk sekitar 880 kilometer di tenggara Manila.

“Kami tahu topan akan terjadi. Pemerintah sudah memberi peringatan. Tapi, jam 3 pagi tidak ada suara apapun. Lalu sekitar jam 5 pagi, semuanya berubah,” Richelle mengenang peristiwa memilukan itu.

Baca juga: Nama Presiden Aquino Makin Cemerlang karena Haiyan

“Saya dan anak-anak berlari ke tempat yang lebih tinggi. Bahkan saya harus berenang saat air mulai naik. ‘Jangan lihat ke belakang’, itu yang saya katakan ke anak-anak. Saya tidak tahu apa yang terjadi, suara ombak dan angin ada di mana-mana, saya hanya bisa mendengar teriakan tetangga saya. Untungnya beberapa tetangga membantu membawa anak-anak ke tempat yang aman,” katanya.

Wali Kota Tacloban, Cristina Romuáldez (kelahiran Tacloban dan keponakan dari mantan Ibu Negara Imelda Marcos) baru-baru ini menyatakan warganya telah “bangkit dan menatap ke depan”. Namun, bagi orang-orang seperti Richelle, bencana masih terjadi. Hanya saja amukan angin dan hujan kini digantikan oleh ketidakpedulian dan kelalaian pemerintah.

Sebenarnya sudah ada beberapa upaya. Dua tahun pasca bencana, pada 2015, mantan Presiden Benigno Aquino III mengeluarkan Rehabilitasi dan Rencana Pemulihan Komprehensif Yolanda (CRRP), yang akan menyediakan 205.000 rumah untuk pengungsi.

Pada Januari 2017, Presiden Rodrigo Duterte juga berjanji bahwa rumah-rumah tersebut akan dibangun secara gratis. Memang, pemerintah pun mengalokasikan hampir 1,5 juta dollar AS  untuk proyek ini.

Untuk membuktikan kesungguhannya, Duterte juga mengultimatum para lembaga pemerintah, termasuk Otoritas Perumahan Nasional (NHA), untuk menyelesaikan semua rehabilitasi di akhir 2017. Namun, hasilnya sungguh amat mengecewakan. Hingga November 2018, hanya 100.709 rumah yang baru diselesaikan NHA.

Richelle adalah salah satu dari 6.000 pengungsi di Tacloban (dulunya sekitar 14.500) yang masih menunggu “dirumahkan”. Kini, dia dan keluarganya tinggal di daerah Anibong, Tacloban, hanya sejengkal dari kapal kargo seberat 3.000 ton, MV Jocelyn, yang terdampar akibat haluan badai, dan mengakibatkan 11 korban meninggal serta menghancurkan 14 rumah.

Baca juga: Hadapi Topan Hagupit, Filipina Sudah Belajar dari Haiyan

Rumahnya yang gubuk bahkan tidak mampu mengatapi dia dan keluarganya dari terik matahari maupun derasnya hujan. Gubuknya hanya terdiri dari satu ruangan dengan papan kayu yang digunakan sebagai tempat tidur, dapur berada di ruangan terpisah.

Hanya sebuah seng yang menutupi ruangan selebar tiga meter dan setinggi kurang dari empat meter ini. Sang kapal kargo yang terdampar itu berdiri tepat di depan gubuknya: menjadi sebuah taman peringatan bagi khalayak umum.

Sementara Tacloban sendiri merupakan kota yang benar-benar berbeda. Sekitar 10 menit dari gubuk Richelle, terdapat Gereja Santo Nino dengan arsitektur jaman Marcos yang mewah.

Gereja yang juga menjadi rumah peristirahatan Presiden ini memiliki ruang dansa yang dihiasi lukisan dinding yang flamboyan dan perabotan mewah. Tidak mengherankan bila tempat ini selamat dari Topan Haiyan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com