Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rima Sundusita
Diplomat Sekretaris Pertama RI di KBRI Dhaka

Diplomat Sekretaris Pertama RI yang sedang bertugas sebagai Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Dhaka.
Sebelumnya ia ditugaskan sebagai Konsul Muda Pensosbud pada KJRI New York serta Korfung Pensosbud dan Protokol & Konsuler di KBRI Havana. Lulusan Master of International Studies – The University of Queensland.

 

Bianglala di Negeri Cerutu

Kompas.com - 20/10/2018, 17:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DARI Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (MILN) yang tersebar di 5 (lima) negara akreditasi (Kuba, Persemakmuran Bahamas, Jamaika, Haiti & Republik Dominika) yang menjadi wilayah kerja KBRI Havana, diaspora Indonesia di Havana terbilang cukup spesial. 

Diaspora Indonesia di Havana ini unik karena memiliki nilai ‘kekhususan’ dari segi sejarah. Apa sebabnya? Salah satunya, ada cerita panjang di balik keberadaan beberapa orang anggota masyarakat Indonesia di Kuba tersebut berhubungan erat dengan peristiwa bersejarah RI di tahun 1965.

Ketika itu, pemerintah Orde Baru melakukan screening terhadap mahasiswa Indonesia yang sedang melakukan tugas belajar di luar negeri. Adapun data dan fakta yang didapat selama penyusunan tulisan ini merupakan hasil wawancara langsung di lapangan serta mengutip dari data KBRI dan artikel akademik yang telah resmi dipublikasikan.

Kuba, dengan nama resmi Republik Kuba merupakan negara pertama di benua Amerika yang menganut sistem Sosialis-Komunis, dimulai pada era Revolusi yang dipimpin oleh Fidel Castro dan Ernesto Che Guevara pada tahun 1959.

Pada masa Perang Dingin, Kuba mendapat dukungan dan backup secara total dari Rusia (pada masa itu ‘USSR’) sehingga Kuba dapat bertahan dari ‘gempuran’ AS baik dari segi politik, keamanan, ekonomi dan keuangan.

Sementara itu di Indonesia, ketika kejadian G30S/PKI pecah, yang mengakibatkan dicabutnya paspor sejumlah mahasiswa Indonesia yang dianggap tidak setia kepada Pemerintah Indonesia, Fidel Castro termasuk salah satu Kepala negara yang membuka pintu bagi eks-mahasiswa Indonesia.

Pada bulan Mei tahun 2017, secara keseluruhan, MILN di Kuba berjumlah 32 orang, yang terdiri dari kalangan mahasiswa/i penerima beasiswa kedokteran dari Pemerintah Kuba; para rohaniawan; staf lokal yang bekerja pada KBRI Havana serta keluarganya, dan eks-mahasiswa Indonesia beserta keturunannya.

Tulisan ini dibuat dengan memfokuskan pada keberadaan dan kondisi serta kiprah terkini dari para eks-mahasiswa Indonesia serta keturunannya. Lebih spesifik, menyoroti empat sosok yang kami pandang dapat mewakili kalangan masyarakat Indonesia di Havana yang cukup dekat dengan keluarga besar KBRI.

Bianca Louise Valdez Mahdi, atau yang sering kami panggil Ibu Luisa, adalah sosok yang tidak asing dengan kehidupan di KBRI dan mengenal betul dinamika kehidupan diplomat di Kementerian Luar Negeri RI. 

Ayahnya dulu adalah seorang Duta Besar RI (Diplomat Karir), almarhum Izak Mahdi. Sebagai anak dan cucu (kakeknya adalah almarhum Marzuki Mahdi) seorang diplomat, Luisa mengikuti orangtuanya bertugas ke luar negeri. Antara lain ke Bangkok, Wina, dan Meksiko.

Ketika sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Jerman, Luisa bertemu dengan seorang calon dokter berkebangsaan Kuba, yang kemudian menjadi suaminya. Setelah mengikuti suaminya kembali ke Kuba, Luisa bekerja sebagai Pegawai Setempat pada KBRI Havana dan pensiun tahun 2013.

Meskipun sudah bertahun-tahun tidak pernah kembali ke Indonesia, Luisa tetap menganggap Indonesia bagian dari identitas dan jati diri.

Selain itu, sebagaimana ayah, paman (Boesono Darusman dan Suriono Darusman) dan kakeknya yang dulunya merupakan diplomat RI, dan telah menanamkan nilai-nilai budaya Indonesia, kecintaan terhadap tanah kelahiran tidak pernah hilang dari dirinya.

Berbeda dengan Luisa, kehadiran warga Indonesia lainnya di Kuba memiliki cerita dengan keunikan tersendiri.

Terdapat tiga orang anggota MILN yang dulunya, adalah mahasiswa Indonesia penerima beasiswa asing yang sedang melaksanakan tugas belajar di luar negeri dan kemudian tidak lolos screening pada masa rezim Presiden Soeharto.

Setelah status sebagai WNI dicabut, para mahasiswa Indonesia terpencar di seluruh penjuru dunia mencari jalannya masing-masing. Sebagian besar menetap di Eropa. Selain negara-negara di Eropa, terdapat sejumlah mahasiswa Indonesia yang kemudian memilih Kuba sebagai tempat untuk menetap.

Ada banyak jalan yang ditempuh para mahasiswa Indonesia dalam upaya berintegrasi dengan kehidupan baru mereka di Kuba. Salah satunya adalah dengan cara mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan mereka berinteraksi langsung dengan penduduk lokal, seperti yang dilakoni oleh Widodo Suwardjo.

DR Widodo Suwardjo, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Pak Wid, merupakan salah satu Staf Ahli dan peneliti senior pada Lembaga Penelitian Metalurgi Kuba yang dibawahi oleh Kementerian Industri Kuba.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com