Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Damar Juniarto
Praktisi Demokrasi Digital

Executive Director SAFEnet, alumni IVLP 2018 Cyber Policy and Freedom of Expression Online, pendiri Forum Demokrasi Digital, dan penerima penghargaan YNW Marketeers Netizen Award 2018.

Pelajaran Pahit soal Demokrasi dari Amerika

Kompas.com - 19/10/2018, 17:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Catatan Damar Juniarto yang selama 21 hari mengikuti Visitor Leadership Program (IVLP) 2018 bertema Cyber Policy and Online Freedom of Expression di Amerika Serikat.


SAAT
hari pertama saya tiba di Amerika Serikat sebagai peserta International Visitor, siaran televisi sedang giat menayangkan rentetan berita apakah Brett Kavanaugh akan lolos menjadi Ketua Hakim di Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Pilihan Donald Trump pada hakim Kavanaugh tidak serta merta kemudian memuluskan jalannya menjadi hakim agung, karena Kavanaugh dituding sebagai pelaku penyerangan seksual, bukan hanya oleh satu orang, tetapi sejumlah korban.

Yang pertama, Christine Blasey Ford, seorang profesor di Palo Alto Universitas California. Yang kedua, Deborah Ramirez, relawan di Safehouse Progressive Alliance for Nonviolence (SPAN) yang bekerja bagi para korban KDRT dan menghubungkan dengan orang-orang yang bisa memberikan bantuan.

Doktor Christine mengatakan kepada media Washington Post bahwa Kavanaugh menahannya di sebuah pesta sekolah menengah pada 1980-an dan berusaha memerkosa dirinya, bahkan menutup mulutnya agar tidak melakukan protes.

Tuduhannya didokumentasikan oleh terapisnya dalam catatan dari sesi pada tahun 2012 dan 2013, di mana Christine Ford berbicara tentang "upaya perkosaan" dan diserang oleh siswa "dari sekolah anak laki-laki elitis."

Sementara Debbie Ramirez mengatakan kepada media New Yorker bahwa 35 tahun lalu, Kavanaugh melakukan aksi eksibisionis dengan memertontonkan alat kelaminnya ke wajahnya selama pertandingan minum-minum sebuah kelompok di sebuah pesta tahun pertama mahasiswa di Universitas Yale.

Baik Debbie Ramirez dan Christine Ford telah meminta penyelidikan FBI untuk memeriksa tuduhan mereka, tetapi Partai Republik telah menolak permintaan itu dengan mengatakan FBI tidak bisa menilai kredibilitas tuduhan.

Peristiwa ini memicu banyak aktivis perempuan yang berada di belakang gerakan #MeToo — yang beberapa kali muncul dalam persoalan pemerkosaan perempuan oleh laki-laki berkuasa — vokal sekali mengajak agar Amerika tidak menjadikan seorang dengan reputasi sebagai “pemerkosa” menjadi hakim tinggi di Mahkamah Agung.

Bahkan waktu saya melintas di depan gedung Mahkamah Agung di Washington D.C., poster-poster KAVA NO ditempelkan di ruang-ruang publik.

Sekalipun dengar pendapat dilakukan beberapa hari kemudian menyusul penolakan pencalonan Kavanough dan silang pendapat di media antara media partisan Partai Republik seperti Fox TV dan media partisan Partai Demokrat dan media-media yang independen.

Bahkan sempat pula saya menonton saat Kavanaugh menuding pengakuan-pengakuan itu adalah tak lebih dari aksi yang diorkestrasi untuk mencemarkan nama baik dirinya. Isi pikiran dan hati saya berharap orang ini tidak diberi jabatan strategis dalam mengisi kursi keadilan.

Namun pada akhirnya saya mendengar Kavanaugh tetap terpilih menjadi hakim agung dengan angka tipis, menang 2 suara. Saya sempat terpana, tidak menyangka ini terjadi di negeri yang sejak awal abad ke-19 sudah mengakui perempuan setara dengan laki-laki. Tapi Inilah pelajaran pertama dari Amerika.

Berjuang mempertahanan demokrasi

Gagasan-gagasan persamaan hak warga yang kami kunjungi di National Constitution Center dan gedung-gedung bersejarah di kota tua Philadelphia ternyata membutuhkan waktu lama untuk menjadi nyata di Amerika.

Pada kenyataannya, hingga hari ini, Amerika masih berjuang untuk memertahankan demokrasi di dalam negerinya sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com