TOKYO, KOMPAS.com — Jepang menjadi salah satu tujuan wisata favorit bagi sejumlah turis asing. Namun, "Negeri Sakura" itu merupakan negara rawan bencana alam.
Terakhir kali Jepang dilanda gempa dan tsunami pada 2011 silam. Gempa berkekuatan 9,0 magnitudo itu menimbulkan tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir timur laut negara itu.
Sekitar 19.000 orang tewas atau hilang akibat peristiwa tersebut, serta menyebabkan kebocoran pembangkit tenaga nuklir Fukushima Daiichi.
Britannica mencatat, Perdana Menteri Jepang kala itu, Kan Naoto, langsung mengumumkan keadaan darurat dan mengerahkan 100.000 pasukan untuk menangani wilayah terdampak.
Baca juga: 4 Orang Tewas dan 200 Lainnya Terluka Akibat Topan Trami di Jepang
Kemudian, gempa berkekuatan 6,6 magnitudo juga mengguncang pulau utara Jepang, Hokkaido, pada 6 September 2018 hingga merenggut sedikitnya 18 korban jiwa.
Sudah sejak lama berjibaku dengan bencana alam, penduduk Jepang dilatih untuk sigap menghadapi agar meminimalkan jumlah korban dan kerusakan. Lalu bagaimana Jepang berupaya memitigasi bencana?
Bangunan yang runtuh merupakan salah satu penyebab cedera dan kematian akibat gempa.
Di Jepang, semua bangunan harus mengikuti dua persyaratan ketat dari pemerintah, yaitu bangunan dijamin tidak akan runtuh karena gempa dalam 100 tahun ke depan. Syarat lain adalah bangunan dipastikan tidak akan rusak dalam 10 tahun pembangunan.
Baca juga: Bergaya Jepang, Rumah Ini Didesain Tahan Gempa
Melansir Culture Trip, sekitar 87 persen bangunan di Tokyo mampu bertahan terhadap guncangan gempa.
Setiap ponsel pintar di Jepang dipasang dengan sistem peringatan gempa dan tsunami.
Peringatan akan sampai ke pemilik ponsel pintar sekitar 5-10 detik sebelum bencana terjadi.
Dengan demikian, penduduk masih memiliki waktu untuk segera mencari perlindungan, seperti misalnya, dengan berlindung di bawah meja.
Sistem ini mengeluarkan suara otomatis "Jinshin desu! Jihshin desu!" yang berarti ada gempa bumi.