Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Efek Pemilu Malaysia Mungkinkah Tertular ke Singapura?

Kompas.com - 01/08/2018, 07:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UCAPAN-UCAPAN Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad adalah yang paling dapat dikutip di antara pemimpin-pemimpin lain di Asia.

Pada Mei lalu, setelah kemenangan tak terduga dari koalisi Pakatan Harapan (PH), ia mengucapkan bahwa rakyat Singapura. “… pasti capek memiliki pemerintahan dan partai yang sama sejak kemerdekaan.”

Sebuah referensi terhadap “People’s Action Party” (PAP) yang telah memonopoli pemerintahan Singapura dalam enam dekade.

Mahathir – seperti yang tertulis di sejarah – tidak terlalu suka dengan Singapura. Oleh karena itu, komentar-komentar Perdana Menteri berusia 93 tahun tersebut terhadap Singapura seringkali menjadi perhatian.

Tertarik pada kemungkinan untuk sebuah perubahan di Singapura, Tim Ceritalah pergi untuk memahami pandangan-pandangan masyarakat lokal di sana terhadap retorika Pemilu Malaysia, dan mungkinkah itu akan berdampak kepada mereka.

Baca juga: Berkat Tetikus, Pria Ini Masuk Daftar 50 Orang Terkaya di Singapura

“Sangat menggembirakan saat PH menang. Tapi menurut saya, rakyat Singapura akan lebih memilih untuk menjaga status quo,” ucap Try Foo, pelajar kajian Asia Tenggara berusia 25 tahun di National University of Singapore (NUS).

“Di sini tidak ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kemenangan oposisi, seperti skandal 1MDB dan Najib di Malaysia,” ujar Martino Tan, co-founder media independent Mothership SG.

Adapun, mantan Perdana Menteri Najib Razak dan koalisi pemerintah Barisan Nasional (BN) dulu memang menghadapi tiga rintangan kritikal.

Pertama, mereka diserang oleh opini yang kuat bahwa ekonomi Malaysia – di bawah pengawasan BN – telah gagal memberikan kesempatan ekonomi yang setara di balik naiknya harga pangan dan biaya hidup.

Kedua, pajak layanan dan barang atau GST, yang sangat dibenci dan kurang dipahami, telah mempercepat tekanan inflasi terhadap banyak kebutuhan sehari-hari.

Saat pertama kali diterapkan secara mengejutkan pada 2015, jutaan rakyat Malaysia marah--yang untuk pertama kalinya merasa menanggung beban paling berat. Situasi ini memicu rakyat lebih banyak mengawasi pengeluaran pemerintah.

GST juga diimplementasikan saat mencuatnya skandal finansial 1Malaysia Development Berhad (1MDB) – yang menjerat Najib Razak – dan akhirnya terekspos ke ranah publik.

Kasus itu semakin menggerus kredibilitas pemerintah yang sudah goyah sebelumnya dan mendorong ketidaksukaan publik.

Datanglah Dr Mahathir. Tak pernah kalah di pemilihan apapun sejak 1969, pria yang tak kenal usia ini merangkai sebuah narasi sederhana yakni, menggabungkan kegagalan ekonomi trickle down, implementasi GST, dan tuduhan korupsi Najib menjadi sebuah pesan elektoral yang kuat.

Bisakah hal yang sama terjadi di Singapura?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com