Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Kubu Berseberangan Bahas Otonomi Khusus Papua di Selandia Baru

Kompas.com - 31/07/2018, 16:27 WIB
Amir Sodikin

Editor

WELLINGTON, SELANDIA BARU - Perhimpunan Pelajar Indonesia Selandia Baru menggelar diskusi publik bertajuk Papua Today atau Papua Hari Ini di Wellington, Selandia Baru, Senin (31/7/2018). Forum tersebut diadakan di Victoria University of Wellington (VUW) yang dihadiri  dua kubu yang berseberangan terkait isu Papua Merdeka. 

Diskusi ini dihadiri puluhan orang yang terdiri dari penduduk asli Selandia Baru, termasuk mereka yang memiliki latar belakang Pasifik dan Maori, dan orang Indonesia.

Tokoh Senior dari Papua datang ke Wellington, Selandia Baru, untuk berbicara dan berbagi tentang perkembangan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Selandia Baru (PPINZ).

Mereka adalah Franz Joku, Nick Messet, dan Michael Menufandu yang datang ke negeri Kiwi untuk berbagi pemikiran dan pengalaman langsung kepada khalayak di sana tentang bagaimana pengaruh otonomi khususnya pada Papua hari ini.

Beberapa tokoh terkemuka Selandia Baru yang mendukung Gerakan Papua Merdeka atau Free West Papua juga datang, yaitu Pala Molisa dan Marie Leadbeater.

Baca juga: Dari Papua, Api Obor Asian Games Tiba di Makassar, Diarak Keliling Sulsel

Hana Aulia, mahasiswa tahun pertama di VUW yang juga ketua panitia lokal mengatakan acara ini diadakan untuk berbagi perspektif yang berbeda tentang masalah Papua. Latar belakangnya pelajar dan mahasiswa Indonesia di Wellington secara khusus telah melihat bagaimana Papua digambarkan tidak berimbang di Selandia Baru oleh beberapa kelompok.

Dikenal hanya sebagai West Papua oleh masyarakat Selandia Baru, dua provinsi di dalamnya yakni Papua dan Papua Barat telah menjadi pusat perhatian dari beberapa kelompok di Selandia Baru beberapa tahun terakhir. Beberapa kelompok tersebut seperti Peace Movement Aotearoa dan Asosiasi Mahasiswa Maori dan Pasifika Students.

Mereka menuduh pemerintah Indonesia dengan sengaja mendiskriminasi dan meninggalkan Papua. Beberapa bahkan percaya bahwa orang Papua masih secara konsisten hidup di bawah kekuasaan militer. Rekonsiliasi, menurut mereka, tentang sejarah kelam di masa lalu tidak pernah diupayakan oleh pemerintah Indonesia.

Dipimpin oleh staf akademik dan dosen yang sangat dihormati di kampus VUW, Prof Roberto ‘Rob’ Rabel, diskusi dimulai dengan pernyataan pengantar bahwa kampus mendukung acara-acara seperti ini.

Ia percaya bahwa perspektif yang berbeda harus diakomodasi di institusi pendidikan mana pun. Dia mengatakan kepada hadirin bahwa kampus menyambut baik perspektif yang berbeda atas masalah yang sama. Adalah penting untuk memberi orang informasi yang seimbang khususnya mengenai masalah di Papua.

 

Papua yang terus berkembang

Professor Rob kemudian mengundang pembicara untuk berbagi pemikiran mereka. Joku, Menufandu, dan Messet berbicara bergantian selama 15 menit masing-masing. Sebagai pembicara pertama, Joku berbicara tentang kebebasan berekspresi di Papua khususnya mengenai apakah wartawan asing dapat aktif di Papua.

Sebagai mantan juru kampanye internasional untuk Organisasi Papua Merdeka (OPM), ia katakan bahwa dibanding dengan tahun 1960-an, wartawan kini memiliki akses yang jauh lebih baik untuk memasuki Papua.

Tentu saja, karena Indonesia masih negara berkembang, beberapa aturan yang berkenaan dengan keamanan dan pengamanan berlaku. "Karena, peraturan itu dibuat juga untuk keamanan jurnalis khususnya mereka jurnalis asing," kata Joku.

Dia kemudian menjelaskan bahwa jika dibandingkan dengan kebebasan berekspresi di Barat, Papua akan terlihat sedikit menakutkan dengan aturannya yang ketat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com