MALAYSIA merupakan negaranya anak muda. Berdasarkan data Departemen Statistik Malaysia, usia rata-rata masyarakat Malaysia adalah 28 tahun.
Padahal, Tun Dr Mahathir terpilih kembali sebagai Perdana Menteri di usianya ke 92 tahun (akan berusia 93 pada 10 Juli) atau tiga kali lebih tua dari usia rata-rata masyarakat Malaysia.
Mengingat adanya perbedaan yang sangat jauh, lalu bagaimana sosok “dokter baik” ini bisa tetap relevan dan mengesankan bagi para anak muda di Malaysia? Bagaimana dia bisa berhasil ketika para politisi muda baik yang berada di koalisi Pakatan Harapan (PH) dan rekan terdahulunya di Barisan Nasional (BN) gagal?
Dengan menyimak kilas balik di masa lalu, momen indah sekarang mungkin ada hubungannya dengan itu.
Masyarakat Malaysia yang berusia tiga puluhan pastinya masih ingat--dengan sudut pandang yang beragam tentang akhir kepemimpinan Mahatir yang pertama (1982-2003) dan juga pencapaian yang berhasil dilakukannya.
Sebagai perintis proyek-proyek infrastruktur seperti Jembatan Penang, jalan bebas hambatan Utara-Selatan, dan Bandara Internasional Kuala Lumpur, serta cepatnya pertumbuhan industrialisasi negara, hal-hal tersebut akan selamanya dikaitkan dengan Mahathir.
Pada saat yang sama, sebuah nostalgia tumbuh untuk adanya kepastian pada era transformasi di pemerintahan, ditambah dengan adanya sebuah amnesia terhadap kegagalan institusi yang sistematis pada waktu itu dimana hal tersebut menguntungkan Mahathir.
Di Indonesia, terdapat sebuah tren yang juga mirip dengan ini yaitu “SARS” (“Sindrom Amat Rindu Suharto” atau “Sindrom Saya Kangen Suharto”).
Terlebih lagi, Dr Mahathir tidak merasa malu untuk merayu dan berhubungan dengan para politisi muda secara terbuka.
Syed Saddiq Abdul Rahman, pemuda berusia dua puluh lima tahun dengan postur tubuhnya yang tinggi, tampan, dan pandai berbicara menjadi sebuah kunci “strategi anak muda” bagi Dr Mahathir.
Dalam beberapa tahun terakhir, sosok berbakat yang lahir di Johor ini telah menjadi orang kepercayaan terdekat para koleganya yang lebih tua.
Terlahir dalam keluarga kelas menengah, Saddiq pertama kali muncul di publik sebagai seorang pemenang debat.
Saddiq kemudian berpolarisasi menjadi sosok yang suka berpolitik dengan menolak UMNO dan mendekat ke kelompok pembangkang UMNO, yakni BERSATU, yang merupakan bagian dari PH.
Dalam prosesnya, ia juga sempat menolak kesempatan beasiswa untuk mengambil gelar Master di Universtitas Oxford hanya agar dapat mengikuti kontes pemilihan di kursi parlemen Muar, Johor.
Di wilayah yang dianggap sebagai kekuatan UMNO tersebut, Saddiq berhasil memenangkan pemilihan dengan meraih 6.953 suara mayoritas
Namun, peran Saddiq jauh lebih besar daripada itu. Saddiq membantu para negarawan yang lanjut usia lebih dekat dengan masyarakat. Kebanyakan politisi menghadapi tantangan serupa, dimana mereka dikelilingi dan berbaur dengan wajah muda, yang umumnya tidak mereka kenal.