Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).

Darurat Literasi Media Sosial, Berpacu Melawan Konten Negatif

Kompas.com - 22/03/2018, 09:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RENDAHNYA literasi media sosial dalam masyarakat digital menjadi salah satu pendorong maraknya dampak negatif penggunaan internet seperti informasi hoaks, pelanggaran privasi, cyberbullying, konten kekerasan dan pornografi, dan adiksi media digital.

Kondisi tersebut mendasari Jepang, negara-negara Asia Tenggara dan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) untuk memberikan perhatian khusus terhadap literasi media sosial bagi keluarga dan masyarakat pendidikan

Rendahnya literasi media sosial menjadi topik yang dibahas secara mendalam di ajang "ASEAN-Japan Forum on Media and Information Literacy for the Youth" yang digelar di Manila, Filipina pada 20-21 Maret 2018.

Forum ini mempertemukan para pihak dari berbagai sektor komunikasi baik di pemerintahan, swasta, media, akademisi dan pelajar dari Jepang dan negara Asia Tenggara. Saya bersama dua rekan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hadir di ajang tersebut.

Baca juga : Warga Diimbau Lakukan Langkah 3K untuk Cegah Hoaks di Media Sosial

Sebagai delegasi Indonesia, awalnya saya sempat berpikir bakal dicecar kondisi aktual sosial media di dalam negeri yang tidak cukup membanggakan. Semua sudah tahu, besarnya pengguna internet di Indonesia ternyata tidak berkorelasi dengan kualitas penggunaan internet.

Sekadar berpaling ke belakang, kondisi terburuk media sosial di Indonesia terjadi sejak Pilpres 2014, saat itu kampanye hitam bersliweran di dunia maya dengan kata-kata kunci yang terus diulang untuk membangkitkan histeria massa.

Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden rupanya tak menghentikan tren tersebut, bahkan keadaan media sosial kita semakin menyedihkan ketika berlangsung Pileg DKI 2016 yang serasa Pilpres. Keras, panas bahkan cenderung kasar minim etika.

Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kontestasi Pilgub yang kemudian berujung pada vonis penjara terhadap Ahok atas kasus penghinaan terhadap agama justru memunculkan tindak persekusi. Pada kurun Januari hingga Juni 2017 tercatat 87 kasus persekusi terjadi.

Untungnya sejak Juli 2017, polisi aktif bergerak. Tidak sedikit pelaku tindak negatif menggunakan media sosial diproses secara hukum. Dua simpul yang telah ditangani polisi yaitu kelompok Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA). Apakah penangkapan itu berimbas positif? Tidak juga.

Bagi sebagian masyarakat awam, mungkin melihat tindakan pemerintah terlambat. Tidak banyak yang sadar sebetulnya ada tiga hal yang sedang dan sudah dijalankan pemerintah menyasar dari hulu hingga hilir yaitu edukasi literasi digital, pendampingan berkelanjutan oleh komunitas dan penegakan hukum.

Baca juga : Zuckerberg Akhirnya Angkat Bicara soal Kebocoran Data Facebook

Oleh pemerintah gerakan literasi dinamai Siber Kreasi yaitu gerakan nasional literasi nasional yang memayungi tiga langkah yakni perlindungan data individual, hak kebebasan berpendapat secara benar dan memperkuat literasi digital masyarakat.

Bagaimana dengan konten negatif yang saat ini masih dengan mudah kita terima, temukan atau beredar di antara kawan dan sahabat kita? Pemerintah membentuk pusat aduan yang menuntut peran serta aktif masyarakat untuk melaporkan hal tersebut.

Sementara penegakan hukum yang menjadi ranah Kepolisian menjadi ujung dari seluruh upaya pemerintah menangani konten negatif di dunia maya. Menariknya, upaya keras Kepolisan memantau dunia maya berujung pada pengungkapan kejahatan lain, salah satunya terbongkanya penyelundupan narkotika dalam jumlah besar.

Apakah upaya aktif pemerintah tersebut cukup? Saya melihat ini serupa permainan kucing dan tikus. Semakin keras kucing bekerja, semakin pintar tikus beraksi. Apalagi saat ini tensi politik semakin meninggi bersamaan digelarnya Pilkada serentak yang menjadi ajang pemanasan Pilpres 2019.


Masalah bersama

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com