Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Ketika Konflik Politik Si Merah vs Si Kuning Mengakar hingga Desa-desa

Kompas.com - 27/12/2017, 19:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

  • Chiang Mai adalah kota pendukung mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra. Keluarga Shinawatra memiliki catatan sejarah panjang di sana. Pada 2014, koran The Australian melaporkan bahwa 70% dari populasi Chiang Mai adalah pendukung Thaksin yang kemudian terguling. 
  • Pemerintahan militer Thailand yang dipimpin Jenderal Prayut Chan-o-cha telah dua kali menunda pemilihan umum. Terakhir, pemilihan dijadwalkan pada November 2018, yang berarti masyarakat Thailand harus menunggu 4 tahun untuk melaksanakan pemilihan umum.
  • Dengan menekankan pada hubungan yang kuat antar masyarakat, kepala desa setempat mencoba untuk menjembatani perpecahan antara kelompok Merah dan kelompok Kuning.

DI Chiang Mai, nama Shinawatra yang merupakan nama keluarga Thaksin, mantan Perdana Menteri dan juga miliader yang digulingkan, memiliki akar yang kuat.

Sutra Shinawatra adalah merek yang sangat dikenal, karena telah menjadi pelopor produk kain yang awalnya hanya kerajinan tangan lokal, menjadi sebuah industri yang mampu berlaga di level regional.

Loet, ayah Thaksin, adalah anggota parlemen kota Chiang Mai pada 1969 dan 1976. Sementara pamannya, Sujate pernah menjabat walikota setempat.

Nama Shinawatra juga telah “memecah” penduduk Thailand selama lebih dari 10 tahun dengan membagi masyarakat Buddha yang taat menjadi kelompok pendukung Thaksin dengan kaos berwarna merah, dan kelompok oposisi dengan kaos berwarna kuning.

Chiang Mai, kota basis pendukung Thaksin, yang menurut The Australian pada 2014 sebanyak 70 persen penduduknya adalah pendukung Thaksin, turut merasakan dampak dari polarisasi ini.

Pada 2014 itu, sebuah aksi pembersihan nasional dilakukan—setelah kudeta yang menyingkirkan saudara perempuan Thaksin, Yingluck, dari kursi Perdana Menteri— dengan memindahkan gubernur provinsinya ke wilayah Thailand bagian tengah, dan kepala polisinya dipindahkan ke tempat lain.

Jurang pemisah tersebut juga terasa hingga ke tingkat desa. Boonthawee, kepala desa berusia 55 tahun yang memimpin masyarakat Mu Song (Desa Dua), menghadapi masalah tersebut setiap harinya.

“Saya telah memimpin desa dengan 1.200 penduduk ini selama 11 tahun. Saya pernah menangani berbagai macam masalah, seperti kriminal, narkoba, imigran gelap, perkelahian orang mabuk, dan kebakaran… tapi tetap saja, yang paling sulit adalah menjembatani perbedaan pendapat masalah politik,” papar Boonthawee.

Lahir dan dibesarkan di Chiang Mai oleh orangtuanya yang bekerja sebagai pegawai kantoran dan penjual lotere, Boonthawee telah menyaksikan Mu Song berubah dari masyarakat petani padi menjadi seperti masyarakat pinggiran kota.

“Ketika saya kecil dulu,” tutur Boonthawee, “saya membantu Ibu menanam padi dan sayur-sayuran untuk menambah penghasilan. Pagi harinya, saya pergi sekolah di kuil. Selepas itu, saya membantu Ibu berjualan.”

Setelah lulus dari sekolah menengah, Boonthawee bekerja sebagai penjual paket wisata, kemudian menjadi petugas patroli di perbatasan Thailand-Myanmar. Setelah 17 tahun jauh dari Chiang Mai, Boonthawee akhirnya kembali dan bekerja sebagai asisten kepala desa.

“Saya kembali ke Chiang Mai yang sudah sangat berbeda. Kebanyakan masyarakatnya bekerja di bidang jasa. Banyak yang mata pencahariannya bergantung pada para ekspatriat dan turis. Istri saya mengajarkan Bahasa Thailand kepada orang-orang asing, sedangkan tetangga saya bekerja sebagai supir di hotel,” paparnya.

“Demografinya juga telah berubah,” tuturnya lebih lanjut. “Beberapa tahun belakangan banyak imigran yang berasal dari bagian lain Thailand, termasuk juga dari Myanmar. Sekitar setengah dari penduduk di sini sudah bukan lagi orang asli sini,” katanya.

Banyak orang Myanmar yang datang ke daerah itu untuk bekerja di proyek konstruksi. Terkadang, mereka tinggal berdelapan dalam satu kamar untuk menghemat biaya.

“Pemerintah telah banyak membantu mereka, seperti mereka terdaftar di kantor sipil pemerintahan, memiliki akses ke pelayanan kesehatan, dan anak mereka juga bisa pergi ke sekolah. Semua dibiayai oleh pajak yang dibayarkan warga Thai. Sebagai penganut Buddha, kami sangat senang membantu, tapi semua itu dapat menimbulkan ketegangan di masyarakat,” kata Boonthawee.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com