Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Mengikat, Apa Arti Resolusi Majelis Umum PBB soal Yerusalem?

Kompas.com - 25/12/2017, 00:15 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com
– Nikki Halley, Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Kamis (21/12/2017), menyatakan hasil voting di sidang darurat Majelis Umum PBB tak akan menggoyahkan rencana negaranya memindahkan kedutaan besar Amerika di Israel ke Yerusalem.

Voting pada Kamis tersebut merupakan tindak lanjut atas penggunaan hak veto oleh Amerika Serikat di sidang Dewan Keamanan PBB pada Senin (18/12/2017).

Veto itu menjegal rancangan resolusi yang didukung 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB untuk menentang pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang dinyatakan Presiden Donald Trump pada Selasa (6/12/2017).

(Baca juga: Voting di Majelis Umum PBB soal Yerusalem, 128 Negara Menentang AS )

Hasil voting di Majelis Umum PBB mendapati, 128 negara menentang Amerika dan menguatkan isi rancangan resolusi yang dijegal di Dewan Keamanan PBB. Hanya 9 negara—termasuk Amerika Serikat dan Israel—yang menolak resolusi Majelis Umum PBB ini, sementara 35 negara menyatakan abstain dan 21 negara tak hadir dalam pemungutan suara.

Ruang sidang Majelis Umum PBB.un.org/UN Photo/Manuel Elias Ruang sidang Majelis Umum PBB.

"Amerika akan menempatkan kedutaan kami (di Israel) di Yerusalem.... Tidak ada resolusi di PBB yang akan membuat perbedaan dalam hal itu," ujar Haley seusai voting, seperti dikutip AFP.

(Baca juga: AS Akan Tetap Pindahkan Kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem )

Sayangnya, resolusi yang dihasilkan dari sidang darurat Majelis Umum PBB seperti ini tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Resolusi itu juga tak dapat menjadi dasar bagi paksaan penggunaan hukum internasional seperti bila resolusi keluar dari Dewan Keamanan PBB.

Aturan mengenai penyelenggaraan sidang darurat Majelis Umum PBB akibat penggunaan hak veto di Dewan Keamanan PBB dan sifat resolusi yang dihasilkan dalam sidang darurat tersebut antara lain dapat dibaca di link https://www.un.org/en/ga/sessions/emergency.shtml.

Lalu, apa arti hasil voting dan resolusi yang dihasilkan dari sidang darurat Majelis Umum PBB tersebut?

“Letak penting resolusi Majelis Umum PBB (soal Yerusalem) ini ada pada terlihatnya aspirasi negara-negara (anggota PBB) yang secara demokratis menentang kebijakan Trump,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, Sabtu (23/12/2017) saat berbincang dengan Kompas.com lewat layanan pesan.

Hasil pemungutan suara ditampilkan di hadapan anggota Majelis Umum PBB yang membatalkan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel usai voting yang dilakukan di markas besar PBB, Kamis (21/12/2017).APF/SPENCER PLATT Hasil pemungutan suara ditampilkan di hadapan anggota Majelis Umum PBB yang membatalkan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel usai voting yang dilakukan di markas besar PBB, Kamis (21/12/2017).

Terlebih lagi, ujar Hikmahanto, negara seperti Amerika juga akan mengabaikan resolusi itu kalaupun punya kekuatan mengikat. Dalih yang dipakai bisa saja seperti, “PBB kan bukan pemerintahan dunia.”

(Baca juga: Trump Ancam Negara Pendukung Resolusi PBB Terkait Yerusalem )

Karenanya, kata Hikmahanto, arti penting resolusi ini memang bukan pada bisa atau tidaknya memiliki kekuatan hukum mengikat untuk menahan langkah Amerika di Yerusalem.

“(Hasil voting di) Majelis Umum PBB menunjukkan aspirasi dunia in a true sense,” ujar Hikmahanto.

Prosedur “uniting peace” dan hak veto

Resolusi PBB 377 yang terbit pada 1950 menjadi payung hukum penyelenggaraan sidang darurat Majelis Umum PBB dalam hal Dewan Keamanan PBB gagal membuat resolusi terkait perdamaian karena penggunaan hak veto. Langkah seperti ini dikenal sebagai prosedur “uniting for peace”.

Sepanjang sejarah PBB, prosedur tersebut telah dipakai 11 kali, sudah termasuk sidang darurat pada Kamis itu. Selain sidang pada Kamis, sidang lain berlangsung pada 1-10 November 1956, 4-10 November 1956, 8-21 Agustus 1958, 17-19 September 1960, 17-18 Juni 1967, 10-14 Januari 1980, 22 Juli 1980-24 September 1982, 13-14 September 1981, 29 Januari-5 Februari 1982, dan April 1997-16 Januari 2009.

Pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB, Senin (18/12/2017), untuk resolusi yang menentang langkah Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Meski didukung 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi itu gagal terbit karena Amerika menggunakan hak vetonya.un.org/UN Photo/Kim Haughton Pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB, Senin (18/12/2017), untuk resolusi yang menentang langkah Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Meski didukung 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi itu gagal terbit karena Amerika menggunakan hak vetonya.

Dari 11 kali penggunaan prosedur “uniting for peace” itu, hanya empat di antaranya yang tidak terkait dengan situasi di Timur Tengah, khususnya berkaitan dengan relasi Palestina dan Israel. Keempat sesi sidang darurat tersebut membahas Hongaria (1956), Congo (1960), Afghanistan (1980), dan Namibia (1981).

Sebagai catatan, sidang darurat Majelis Umum PBB dalam payung prosedur ini mensyaratkan dukungan dari 7 (tujuh) anggota Dewan Keamanan PBB untuk dapat digelar. Sampai tulisan ini dibuat, Dewan Keamanan PBB beranggotakan 15 anggota dengan 5 (lima) di antaranya adalah anggota tetap.

Anggota tetap Dewan Keamanan PBB adalah Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Perancis, dan China. Masing-masing anggota tetap ini memiliki hak veto.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com