SADEK Ali Hassan adalah seorang guru berusia 44 tahun yang tinggal di Malaysia. Dia juga seorang Rohingya.
Sadek telah menghabiskan lebih dari seperempat abad tinggal di luar tanah airnya sendiri. Saya menemuinya di sebuah madrasah kecil yang dikelolanya untuk anak-anak di komunitas Ampang, daerah pinggiran Selangor.
Ketika saya mulai menyinggung asal usulnya, dia mulanya agak enggan untuk berbagi masa lalunya.
Namun seiring obrolan kami, kenangan-kenangan tentang desanya, Taung Pyo Let Yar – yang dekat dengan perbatasan Banglades – di provinsi Rakhine, Myanmar satu per satu bermunculan.
"Keluarga saya dahulu pemilik tanah. Ayah saya sendiri punya lebih dari 16 hektar tanah,” Sadek mengawali kisahnya.
“Kami menanam padi, cabai, kubis, kentang, tomat, tembakau, terong, labu. Tapi yang paling menguntungkan adalah daun sirih dan kacang. Banyak juga buah-buahan seperti pisang, kelapa dan nangka. Bahkan, kami juga punya kolam ikan,” tuturnya.
Baca juga: Ditemukan Kuburan Massal di Rakhine, Terbanyak Jenazah Perempuan
"Hidup saya dahulu sempurna. Saya pergi ke sekolah dan sore harinya bermain bersama anak-anak tetangga. Saya suka sekolah. Kami diajarkan dalam bahasa Myanmar, tapi kami juga belajar bahasa Inggris. Tiap pagi kami pergi ke masjid untuk belajar agama. Setelah itu, kami pindah ke sekolah pemerintah, dan kemudian kembali lagi belajar di masjid. Pelajaran kesukaan saya adalah bahasa Inggris,” Sadek bercerita.
Dalam satu tahun, pasukan perbatasan sudah muncul di desanya. Sebuah garnisun didirikan tak jauh dari area tempat tinggalnya. Militer mulai merekrut paksa penduduk lokal dan memperkerjakannya sebagai buruh paksa.
"Saya dahulu ketua mahasiswa sekaligus aktivis, jadi saya sering ditahan,” kata Sadek.
“Salah satu hukuman kesukaan mereka adalah hukuman ‘sepeda motor’. Saya harus berdiri selama dua sampai tiga jam dengan kaki ditekuk dan lengan terentang seakan-akan saya sedang duduk di atas sepeda motor, lalu bersuara seperti bunyi motor. Kalau saya berdiri karena merasa pegal, saya ditendangi. Jika saya berhenti bersuara, saya ditampari. Jika saya menurunkan lengan saya, saya dipukuli,” kenangnya.
Seiring bertambah parahnya situasi, Sadek menyadari bahwa dia harus segera meninggalkan Myanmar. Namun, dia tetap tinggal di sana hingga beberapa tahun kemudian, bahkan setelah semua penganiayaan yang dialaminya itu.
"Tapi suatu hari saya tidak tahan lagi,” ujarnya. “Saat itu saya sedang berada di bazar Ramadhan. Seorang pria di samping saya baru memesan bagula (kue tepung goreng) untuk buka puasa. Tiba-tiba seorang pria (non-Muslim) datang dan merebut kue tersebut. Mereka mulai berkelahi. Desa itu adalah desa Muslim, tentu saja penduduk sekitar menolong orang Muslim tersebut. Tak lama kemudian, orang itu (non-Muslim) lari ke posko keamanan di sekitar situ,” papar Sadek.
"Tak lama berselang,” kata Sadek, “petugas-petugas keamanan lainnya berdatangan. Mereka mulai menembaki kerumunan.”
Sadek mengaku melihat sendiri sebuah peluru menembus pinggang seorang pria, lalu mengenai dada seseorang lain. “Dua orang, satu peluru,” tuturnya.