Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Kisah Perjuangan Sadek Ali Menyekolahkan Ratusan Anak Rohingya

Kompas.com - 27/09/2017, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

SADEK Ali Hassan adalah seorang guru berusia 44 tahun yang tinggal di Malaysia. Dia juga seorang Rohingya.

Sadek telah menghabiskan lebih dari seperempat abad tinggal di luar tanah airnya sendiri. Saya menemuinya di sebuah madrasah kecil yang dikelolanya untuk anak-anak di komunitas Ampang, daerah pinggiran Selangor.

Ketika saya mulai menyinggung asal usulnya, dia mulanya agak enggan untuk berbagi masa lalunya. 

Namun seiring obrolan kami, kenangan-kenangan tentang desanya, Taung Pyo Let Yar – yang dekat dengan perbatasan Banglades – di provinsi Rakhine, Myanmar satu per satu bermunculan.

"Keluarga saya dahulu pemilik tanah. Ayah saya sendiri punya lebih dari 16 hektar tanah,” Sadek mengawali kisahnya.

“Kami menanam padi, cabai, kubis, kentang, tomat, tembakau, terong, labu. Tapi yang paling menguntungkan adalah daun sirih dan kacang. Banyak juga buah-buahan seperti pisang, kelapa dan nangka. Bahkan, kami juga punya kolam ikan,” tuturnya.

Baca juga: Ditemukan Kuburan Massal di Rakhine, Terbanyak Jenazah Perempuan

"Hidup saya dahulu sempurna. Saya pergi ke sekolah dan sore harinya bermain bersama anak-anak tetangga. Saya suka sekolah. Kami diajarkan dalam bahasa Myanmar, tapi kami juga belajar bahasa Inggris. Tiap pagi kami pergi ke masjid untuk belajar agama. Setelah itu, kami pindah ke sekolah pemerintah, dan kemudian kembali lagi belajar di masjid. Pelajaran kesukaan saya adalah bahasa Inggris,” Sadek bercerita.

Sadek Ali Hassan (44), seorang pengungsi Rohingya yang telah tinggal di Malaysia selama 14 tahun.Dok Karim Raslan Sadek Ali Hassan (44), seorang pengungsi Rohingya yang telah tinggal di Malaysia selama 14 tahun.
Akan tetapi ketenteraman Sadek tak berlangsung lama. Pada 1988, saat demonstrasi pro-demokrasi menyebar ke seluruh Myanmar, wilayah Rakhine terbawa dalam aksi.

Dalam satu tahun, pasukan perbatasan sudah muncul di desanya. Sebuah garnisun didirikan tak jauh dari area tempat tinggalnya. Militer mulai merekrut paksa penduduk lokal dan memperkerjakannya sebagai buruh paksa.

"Saya dahulu ketua mahasiswa sekaligus aktivis, jadi saya sering ditahan,” kata Sadek.

“Salah satu hukuman kesukaan mereka adalah hukuman ‘sepeda motor’. Saya harus berdiri selama dua sampai tiga jam dengan kaki ditekuk dan lengan terentang seakan-akan saya sedang duduk di atas sepeda motor, lalu bersuara seperti bunyi motor. Kalau saya berdiri karena merasa pegal, saya ditendangi. Jika saya berhenti bersuara, saya ditampari. Jika saya menurunkan lengan saya, saya dipukuli,” kenangnya.

Seiring bertambah parahnya situasi, Sadek menyadari bahwa dia harus segera meninggalkan Myanmar. Namun, dia tetap tinggal di sana hingga beberapa tahun kemudian, bahkan setelah semua penganiayaan yang dialaminya itu.

"Tapi suatu hari saya tidak tahan lagi,” ujarnya. “Saat itu saya sedang berada di bazar Ramadhan. Seorang pria di samping saya baru memesan bagula (kue tepung goreng) untuk buka puasa. Tiba-tiba seorang pria (non-Muslim) datang dan merebut kue tersebut. Mereka mulai berkelahi. Desa itu adalah desa Muslim, tentu saja penduduk sekitar menolong orang Muslim tersebut. Tak lama kemudian, orang itu (non-Muslim) lari ke posko keamanan di sekitar situ,” papar Sadek. 

"Tak lama berselang,” kata Sadek, “petugas-petugas keamanan lainnya berdatangan. Mereka mulai menembaki kerumunan.”

Sadek mengaku melihat sendiri sebuah peluru menembus pinggang seorang pria, lalu mengenai dada seseorang lain. “Dua orang, satu peluru,” tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com