Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Muslim Myanmar di Tengah Serangan dan Ketakutan akan Masa Depan

Kompas.com - 07/09/2017, 21:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

 

SAAT saya menulis kolom ini, lebih dari 120.000 warga Rohingya yang paling teraniaya di dunia telah melarikan diri dari negara bagian Rakhine, Myanmar Barat.

Berbagai kecaman dari segala penjuru dunia mengalir deras ke Pemerintah Myanmar terutama kepada State Counsellor, sang pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi.

Kelompok minoritas Myanmar termasuk etnis Shan, Karen, Kachin dan Muslim telah lama menghadapi permasalahan. Padahal beberapa dari mereka terkadang memiliki hubungan darah dengan kelompok mayoritas dominan Myanmar, etnis Burma atau "Bama" yang tinggal di kawasan utama Delta Irrawaddy.

Tak hanya itu, umat Muslim juga telah lama menjadi bagian integral kehidupan masyarakat Myanmar. Beberapa penguasa sejak berabad-abad lalu, termasuk Raja Mindon, telah mendorong pembangunan tempat tinggal untuk umat Muslim dan juga masjid-masjid.

Mereka melihat masyarakat adalah sumber daya penting bagi aktivitas perdagangan dan pencarian penghasilan.

Namun, kekalahan dinasti Konbaung (dinasti terakhir Myanmar) dari Inggris telah mengakibatkan perasaan yang menyakitkan bagi orang-orang Myanmar hingga menumbuhkan xenophobia yang sangat mendalam.

Di dalam Masjid Cholia Jame di Pusat Kota Yangon, Myanmar, September 2017. Dok Karim Raslan Di dalam Masjid Cholia Jame di Pusat Kota Yangon, Myanmar, September 2017.
Tidak seperti di Malaysia dan Indonesia, penguasa kolonial dapat memilih untuk menjalankan pemerintahannya melalui para Sultan daerah itu. Namun di Myanmar, pemerintahannya benar-benar dikendalikan oleh Inggris yang dikontrol dari Calcutta dan kemudian Delhi.

Myanmar juga merupakan wilayah komersial yang sangat berharga. Kayu, batu mulia, dan minyak bumi telah berhasil menarik investasi asing dan tenaga kerja yang membuat pemerintahan Myanmar bangga.

Selain itu, para pedagang serta rentenir dari komunitas Marwari dan Chettiar, India, menyadari bahwa Myanmar memiliki potensi besar untuk menghasilkan beras. Sehingga akhirnya, Myanmar dalam hitungan tahun berubah menjadi negara pengekspor beras.

Untuk memangkas biaya produksi, para pengusaha yang sama mengimpor tenaga kerja dari wilayah Bengal. Sukses menekan upah, tapi hal itu mengakibatkan petani lokal tergusur.
Saat Perang Dunia II, hampir setengah dari populasi penduduk Rangoon (Yangon) adalah orang India.

Kebencian mendalam lalu muncul dari orang asli Myanmar yang melihat para pendatang baru, yang sebagian besar umat Muslim, sebagai sekelompok penyusup.

Situasi ini memicu kerusuhan anti-imigran di Rangoon. Perang Dunia II dan berbagai aksi kekerasan memaksa jutaan orang India untuk meninggalkan Rangoon. Namun, masih banyak juga yang tersisa.

Angka resmi menyatakan jumlah Muslim minoritas di Myanmar hanya mewakili 3-4 persen populasi sedangkan Organisasi Non Pemerintah menyatakan jumlahnya mendekati 12-13 persen. 
Dok Karim Raslan Angka resmi menyatakan jumlah Muslim minoritas di Myanmar hanya mewakili 3-4 persen populasi sedangkan Organisasi Non Pemerintah menyatakan jumlahnya mendekati 12-13 persen.
Bagi jutaan umat Islam Myanmar saat ini, kekerasan di Rakhine sangatlah menakutkan. Yang menarik adalah berdasarkan data resmi pemerintah, kelompok minoritas Muslim hanya mewakili 3-4 persen dari jumlah populasi penduduk Myanmar. Namun, menurut data dari LSM, jumlahnya hampir 12-13 persen.

Apa pun itu, kelompok minoritas Muslim yang sangat terlihat keberadaannya dan padat di pusat kota Yangon, ternyata juga tersebar di daerah-daerah pedalaman dengan bangunan-bangunan masjidnya di kota-kota kecil seperti di Bago, Mawlamyine, dan Meiktila.

Jadi, meski perhatian dunia saat ini terfokus pada situasi di Rakhine, namun penting untuk dipahami bahwa tidak semua Muslim di Myanmar adalah Rohingya, walaupun situasinya kadang-kadang sama buruknya.

Banyak yang mengeluh tentang adanya diskriminasi secara formal dan informal, termasuk penggunaan istilah "kalar" yang biasa digunakan warga non-Muslim Myanmar untuk menghina umat Muslim di Myanmar.

Mengamati perkembangan yang terjadi belakangan ini, saya lalu menghubungi teman-teman Muslim Myanmar saya untuk mengetahui pandangan mereka tentang hal ini. Untuk melindungi mereka, saya telah mengganti nama mereka dalam tulisan ini.

Pembaca kolom saya tentu sudah familiar dengan nama U Tin Win, seorang Muslim Myanmar berusia 71 tahun yang merupakan mantan supir truk dan perjuangannya untuk mendapatkan surat-surat identitas resmi untuk cucunya. (baca: U Tin Win: Muslim Myanmar Merenungkan Masa Depan)


Para lelaki muslim Burma dari segala umur memenuhi masjid Cholia Jame di pusat kota Yangon sewaktu shalat Jumat, September 2017. 
Dok Karim Raslan Para lelaki muslim Burma dari segala umur memenuhi masjid Cholia Jame di pusat kota Yangon sewaktu shalat Jumat, September 2017.
Saat U Tin Win dihubungi, ternyata masalahnya masih belum terselesaikan. “Bahkan paman saya yang bekerja sebagai pegawai bea cukai pun tidak bisa mendapatkan kartu identitas,” tutur dia menceritakan pamannya yang kehilangan kartu identitasnya.

“Meskipun dia memiliki semua dokumen yang diperlukan, tetap saja dia sulit mendapatkan kembali kartu identitasnya karena dia seorang Muslim,” kata U Tin Win.

Mengelola rasa takut

Bagi sebagian orang, rasa takut telah melebihi rasa aman mereka. Chit (bukan nama sebenarnya) adalah seorang Muslim Myanmar berusia awal 30-an.

Dia bekerja sebagai supir taksi di Yangon di mana masih terdapat banyak masjid dan warga Muslim. Meski begitu, Chit pun sering merasa tidak aman.

“Di setiap tempat di Myanmar, ada yang berfikiran bahwa umat Muslim adalah kelompok teroris yang mencoba untuk menggulingkan pemerintah,” paparnya.

“Banyak sekali berita-berita palsu di media sosial yang menyebarkan propaganda ini. Begitulah sentimen kekerasan yang tersebar di luar negara bagian Rakhine,” kata Chit.

“Untungnya, saya tidak terlalu terlihat seperti orang Muslim, jadi saya bisa melewatinya tanpa mengalami banyak gangguan,” papar Chit seolah menyukuri penampilannya.

Pengungsi Rohingya mengikuti salat Idul Adha dekat kamp pengungsi sementara Kutupalang, di Coxs Bazar, Bangladesh, Sabtu (2/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain Pengungsi Rohingya mengikuti salat Idul Adha dekat kamp pengungsi sementara Kutupalang, di Coxs Bazar, Bangladesh, Sabtu (2/9).
Di Myanmar, orang yang terlihat seperti Muslim adalah mereka yang berkulit gelap, memiliki karakteristik wajah India, memiliki jenggot untuk yang pria, dan memakai hijab bagi yang perempuan.

Naing (bukan nama sebenarnya), seorang Muslim Myanmar yang tinggal di Meiktila, memiliki masalah yang lebih serius.

“Terjadi perkelahian antara seorang Muslim dan seorang warga lainnya beberapa pekan lalu. Di sebuah desa bernama Chan Aye, para tentara memberlakukan jam malam dan menjaga tempat tersebut dengan sangat ketat. Semoga saja kekerasan yang terjadi di Rakhine tidak akan menyebar sampai ke sini,” kata Naing.

Di usianya yang baru awal 20-an, Naing mengaku pesimistis akan masa depan saudara-saudaranya sesama Muslim di Myanmar.

Dia pun bercerita, “Para warga dilarang membeli ataupun menjual tanah mereka ke umat Muslim. Ma Ba Tha (kelompok aliran keagamaan yang ekstrim) akan memastikan hal itu. Beberapa bulan lalu, mereka nyaris membunuh seorang pria Muslim dan merusak tempat tinggalnya karena pria tersebut membeli tanah dari warga setempat,” kata Chit.

Diskriminasi tersebut juga pernah dialami oleh seorang pengusaha senior Muslim Myanmar yang sukses seperti Kyaw (bukan nama sebenarnya) yang memiliki usaha di Myanmar dan luar negeri.

“Saya menghadiri sebuah acara diplomasi tingkat tinggi yang juga dihadiri para menteri dan duta besar. Mereka menggunakan kata ‘kalar’ untuk menyebut Muslim Myanmar. Acara di TV dan film juga menggunakan kata itu secara terus-menerus. Rasis ada di mana-mana,” ujarnya.

“Di kota-kota yang lebih kecil,” Kyaw melanjutkan kisahnya, “Akan terpasang tanda di depan toko untuk menunjukkan bisnis itu dimiliki oleh orang setempat, sehingga mereka pun dapat melakukan diskriminasi terhadap kami,” kata Kyaw.  

Bahkan untuk membuat suatu kesepakatan, menurut Kyaw, harus menggunakan orang setempat sebagai wakilnya. “Jika tidak, saya tidak akan pernah bisa bertahan,” ucapnya.

Yang mengejutkan saya adalah hanya ada sedikit kemarahan dalam diri teman-teman saya terhadap Suu Kyi. Padahal, Suu Kyi justru mendapat banyak kecaman internasional. Suu Kyi pun akhirnya bersuara atas kekerasan yang menimpa Rohingya, meski sebenarnya tak ada yang dilakukannya untuk menghentikan kekerasan itu.

U Tin Win, misalnya, dengan sepenuh hati percaya bahwa Suu Kyi akan memperjuangkan konstitusi Myanmar tahun 2008 yang menegaskan kalimat, "Kami, Rakyat Nasional, dengan teguh memutuskan bahwa kami akan menegakkan kesetaraan rasial, hidup selamanya dalam kesatuan yang menumbuhkan kekuatan “Union Spirit” dari patriotisme sejati."

Warga Rohingya duduk di wilayah Bangladesh akibat tidak diizinkan masuk oleh Garda Perbatasan Bangladesh (BGB), untuk masuk Bangladesh, di Cox Bazar, Bangladesh, Senin (28/8/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain Warga Rohingya duduk di wilayah Bangladesh akibat tidak diizinkan masuk oleh Garda Perbatasan Bangladesh (BGB), untuk masuk Bangladesh, di Cox Bazar, Bangladesh, Senin (28/8/2017).
Di sisi lain, Naing merasa bahwa, “Partai NLD dan Suu Kyi tidak memiliki kuasa untuk mengubah apa yang sedang terjadi. Dia sedang berusaha sebaik mungkin.”

Chit yang sopir taksi ini juga menghargai NLD. “Saya rasa respons dari NLD dan Suu Kyi terhadap kekerasan di Rakhine sangat adil. Mereka telah berusaha sebisa mungkin dan saya yakin mereka dapat memperbaiki masalah ini.”

Kyaw pun berpendapat, “Jika mereka (Suu Kyi dan NLD) berbicara terus terang, mereka akan kehilangan dukungan. Saya yakin di balik ini semua mereka sedang bekerja untuk membantu kaum Muslim dan Rohingya agar dapat hidup dengan damai.”

Orang-orang Muslim Myanmar berada dalam situasi yang kompleks dan rumit. Mereka tahu betul bahwa mereka bisa saja menjadi ‘target selanjutnya’ atas serangan para ekstrimis setelah Rohingya.

Banyak yang melihat Suu Kyi dan NLD sebagai harapan mereka satu-satunya. Namun, melihat lambatnya reaksi pemerintah dalam mengatasi kekerasan di Rakhine, niat baik pemerintah hanya akan menjadi usaha yang sia-sia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com