Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pilu Berlanjut, Anak 10 Tahun Dilarang Aborsi Walau Hamil Akibat Diperkosa

Kompas.com - 12/08/2017, 10:10 WIB

NEW DELHI, KOMPAS.com - Seorang anak perempuan berusia 10 tahun yang hamil akibat diperkosa, ditolak untuk melakukan aborsi. Kini dia menjadi pusat perhatian media di India.

Geeta Pandey pergi ke kota Chandigarh di utara untuk mengumpulkan cerita ini.

"Banyak kasus kehamilan remaja yang melibatkan anak usia 14 hingga 15 tahun, namun ini kasus pertama yang saya lihat melibatkan seorang anak usia 10 tahun," kata Mahavir Singh, dari Otoritas Layanan Hukum Negara Bagian Chandigarh.

Singh terlibat dalam penanganan kasus yang mengejutkan Kota Chandigarh dan seluruh India.

Di sana ada seorang anak perempuan berusia 10 tahun yang hamil setelah diduga berulang kali diperkosa oleh seorang anggota keluarga. Anggota keluarga itu saat ini dipenjara, menunggu waktu persidangan.

Anak perempuan itu tadinya anak yang bahagia yang gampang tersenyum. Dia pemalu dan tidak terlalu banyak bicara. Bahas Inggris dan matematika adalah mata pelajaran favorit siswa kelas enam ini.

Dia suka menggambar dan cukup bertalenta. Dia sangat suka menonton acara kartun favoritnya Chhoti Anandi (Si kecil Anandi) dan Shin Chan. Dia suka ayam, ikan, dan es krim.

Namun pada 28 Juli, Mahkamah Agung India menolak petisi, yang diajukan atas namanya, agar dia bisa melakukan aborsi, dengan alasan bahwa dengan usia kehamilan 32 minggu, janinnya sudah berkembang.

Baca juga: MA India Tolak Permohonan Aborsi Bocah 10 Tahun Korban Perkosaan

Sebuah panel dokter telah menyarankan bahwa aborsi pada tahap ini akan "terlalu berisiko" untuk anak perempuan itu, dan janinnya "berkembang sehat". Perintah pengadilan sangat mengecewakan keluarga anak perempuan itu.

Hukum di India
Hukum India tidak mengijinkan aborsi setelah kandungan berusia 20 pekan kecuali dokter menyatakan hidup sang ibu dalam bahaya.

Namun belakangan, pengadilan telah menerima beberapa petisi, banyak dari penyintas pemerkosaan anak, yang ingin mengaborsi kehamilan di atas 20 pekan. Di banyak kasus, kehamilan-kehamilan ini terlambat diketahui karena anak-anak itu tidak menyadari kondisi mereka.

Dalam kasus anak 10 tahun ini juga, kehamilan baru disadari tiga pekan lalu saat dia mengeluh sakit di perut bagian bawahnya dan ibunya membawanya ke dokter.

Seseorang yang kerap berinteraksi dengan anak perempuan itu mengatakan, "Dia sangat lugu dan tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya."

Orangtuanya juga tidak menyadari tanda-tanda kehamilan, mungkin karena dia "anak yang sehat dan cukup gemuk". Selain itu, mereka tidak dapat membayangkan bahkan di mimpi terburuk mereka bahwa anak perempuan mereka akan hamil di usia 10 tahun.

Anak itu belum diberitahu mengenai kehamilannya, dan yang harus berurusan dengannya, berbicara dengannya seperti menginjak cangkang telur. Dia diberitahukan bahwa ada batu besar di perutnya dan tonjolan itu ada karena itu.

Dia sedang diet khusus yang terdiri atas telur, susu, buah-buahan, ikan dan ayam dan dia sepertinya menikmati semua perhatian ekstra.

Namun belakangan, polisi, pekerja sosial dan konselor keluar masuk rumahnya, dan sebuah sirkus media berada di luar rumahnya.

"Dia mungkin tidak mengerti masalah sebenarnya, dalamnya situasi yang ada, namun saya kira dia punya gambaran saat ini," kata seorang pejabat senior ke BBC.

Orangtuanya berjuang menghadapi situasi yang ada. Keluarganya miskin dan tinggal di sebuah flat satu kamar yang sesak. Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah dan ibunya pembantu rumah tangga.

Polwan Pratibha Kumari, yang menyelidiki kasus ini, mendeskripsikan mereka sebagai "keluarga yang sangat baik, yang sangat sederhana sehingga tidak menyadari apa yang dilakukan pria ini ke anak perempuan mereka".

Orangtuanya, kata Kumari, sangat putus asa. "Ibunya tidak pernah berbicara dengan saya tanpa menangis. Ayahnya berkata bahwa dia merasa anaknya dibunuh."

Apa yang membuat situasi mereka lebih buruk adalah, sejak berita pemerkosaan dan kehamilan menjadi tajuk berita, mereka diburu oleh para jurnalis.

"Saat ayah sang anak datang ke saya, dia berkata bahwa masalah terbesarnya adalah pers. Dia berkata banyak wartawan di luar rumahnya setiap saat dan privasinya dilanggar," kata Neil Roberts, ketua Komite Kesejahteraan Anak kepada BBC.

Perhatian media membuat anak itu akan mendapat perawatan medis terbaik dan berhak mengklaim kompensasi uang dari pemerintah.

Namun publisitas yang tidak diinginkan itu membuat keluarga ini dalam kesedihan yang luar biasa. Banyak wartwan yang datang ke rumah mereka saat sang ayah sedang bekerja dan berhasil masuk dengan mengklaim sebagai pekerja sosial.

IlustrasiISTOCK Ilustrasi

Karena terduga pemerkosa adalah sepupu sang ibu, sebagian bahkan mempertanyakan apakah dia sadar sedang diperlakukan tidak pantas dan, mungkin, setuju. "Bagaimana dia tidak sadar kalau anaknya hamil selama tujuh bulan?" Tanya mereka.

Hal ini sangat mengganggu keluarga ini, dan sang ayah marah dan pahit. "Saya ingin dia dihukum keras. Dia harus diberikan hukuman mati atau dipenjara seumur hidupnya. Dia telah mengakui kejahatan itu. Namun dia tidak pernah minta maaf ke kami," dia mengatakan itu kepada saya dalam pembicaraan telepon singkat.

Sebelum memutus telepon, dia menanyakan, "Mengapa Anda mengiklankan kasus anak perempuan saya? Pers telah membuat ini menjadi bisnis."

Kemarahannya dijustifikasi, meskipun ada hukum yang secara terang-terangan melarang jurnalis membuka identitas penyintas pemerkosaan dan anak-anak korban kejahatan, banyak orang yang berhasil menguak dan mengidentifikasi keluarga karena nama terduga pemerkosa dilaporkan secara besar-besaran oleh pers di India.

Sekarang tetangga dan rekan kerjanya tahu. Kemungkinan teman-teman sekolah anak itu juga tahu.

Baca juga: Perempuan India Bunuh Suami, Dua Malam Tidur di Samping Mayatnya

Seorang jurnalis lokal, yang bertemu dengan keluarga di awal berita ini keluar, mengatakan bahwa orangtuanya sangat khawatir dengan masa depan anak perempuan itu dan stigma yang akan dihadapinya saat dewasa.  Sang ayah juga juga mengkhawatirkan kesehatannya.

Uji medis sejauh ini menunjukkan kesehatannya "bagus" meski dia menderita "anemia ringan".
Namun ada kekhawatiran lain. Anak perempuan itu lahir dengan lobang di jantungnya, yang disumbat pada 2013.

Meski tim dokter mengatakan hal itu tidak akan mengganggu kehamilannya, faktanya dia tetap terlalu muda untuk melahirkan.

Setiap tahun, 45.000 perempuan dewasa tewas saat melahirkan di India. Risiko anak perempuan berusia 15 tahun tewas saat melahirkan dua setengah kali lebih tinggi daripada perempuan di atas 20 tahun.

Dokter mengatakan risikonya bahkan lebih tinggi untuk seseorang yang masih berusia 10 tahun.

Kekhawatiran itu dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung, namun majelis hakim tetap memutuskan bahwa kehamilan harus dilanjutkan.

Jadi apa yang akan terjadi selanjutnya?

Pihak yang mengetahui mengatakan bahwa bayi akan lahir pada pertengahan September dan dokter telah memutuskan bahwa kelahiran akan menggunakan proses caesar. Jika ada komplikasi, bayi dapat dilahirkan lebih cepat.

Karena keluarga anak perempuan itu mengatakan mereka tidak mau mengurus bayi itu, bayi yang baru lahir akan diurus oleh komite kesejahteraan anak hingga siap diadopsi.

Pakar medis mengatakan bahwa anak 10 tahun itu kemungkinan akan menderita trauma mental dan akan butuh waktu bertahun-tahun untuk konsultasi dengan psikolog anak.

"Kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya," kata seorang pekerja hak anak. "Dapatkah anak 10 tahun melahirkan? Apakah itu mengancam jiwanya? Kami berdoa tidak ada hal buruk yang terjadi padanya."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com