Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertaruhan Politik Turki Bernama Referendum

Kompas.com - 16/04/2017, 13:30 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com - Hari ini, Minggu (16/4/2017), rakyat Turki akan memberikan suaranya dalam referendum yang akan menjadikan negeri itu sebuah republik presidensial.

Referendum ini tak bisa dipungkiri merupakan perkembangan politik paling penting di negeri itu sejak Republik Turki berdiri pada 1923.

Referendum terpaksa digelar setelah sejumlah usulan 18 poin perubahan konstitusi ini tak mendapatkan dukungan minimal duapertiga anggota parlemen.

Jika usulan amandemen konstitusi ini mendapatkan dukungan rakyat maka Presiden Recep Tayyip Erdogan bisa mencalonkan diri sebagai presiden pada 2019 dan 2024.

Artinya, dia bisa terus berkuasa hingga 2029 dan sekaligus menjadi pimpinan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dia dirikan.

Selama ini, peran presiden dalam sistem kenegaraan Turki sebagian besar sekadar seremonial.

Selain itu, dalam sistem saat ini, presiden harus melepaskan kaitannya dengan partai politik begitu menduduki jabatan tersebut.

Apa yang akan dipilih rakyat Turki?

Sebanyak 18 poin amandemen "ditawarkan" kepada rakyat Turki, terutama terkait dengan wewenang eksekutif dan legislatif negeri itu.

  • Penghapusan posisi perdana menteri. Nantinya presiden akan menunjuk anggota kabinet dan akan dibantu beberapa wakil presiden. Parlemen tak lagi mengawasi para menteri bersamaan dicabutnya kekuatan mengajukan mosi tak percaya.

 

  • Presiden tak perlu lagi netral, tetapi tetap diizinkan memiliki afiliasi dengan partai politik. Saat ini presiden harus memutus hubungannya dengan partai sejak terpilih.

 

  • Jumlah anggota parlemen akan ditingkatkan dari 550 menjadi 600 dan usia minimal untuk menjadi anggota legislatif diturunkan menjadi 18 tahun.

 

  • Parlemen dimungkinkan untuk memakzulkan presiden. Saat ini parlemen hanya bisa mendakwa presiden jika dia diduga melakukan pengkhianatan.

 

  • Penghapusan pengadilan militer.

 

  • Presiden memiliki hak untuk memilih empat dari 13 hakim di pengadilan tertinggi negeri itu.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com