Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menagih Janji Presiden Jokowi Agar Kendeng Tetap Lestari

Kompas.com - 20/03/2017, 06:51 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak Senin (13/3/2017) lalu, petani dari kawasan Pegunungan Kendeng melakukan unjuk rasa mencor kaki dengan semen di depan Istana Negara. Aksi tersebut masih terus berlangsung dan jumlah petani kian bertambah.

Pada hari kelima aksi protes, Jumat (17/3/2017), jumlah petani yang menyemen kakinya mencapai 50 orang. Aksi yang sama pernah dilakukan oleh sembilan petani perempuan di depan Istana Negara pada April 2016.

Lalu, apa yang membuat para petani Kendeng ini rela mencor kaki untuk kedua kalinya dan mendesak bertemu dengan Presiden Jokowi?

Para petani Kendeng itu memprotes izin lingkungan baru yang ditandatangani oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dengan terbitnya izin tersebut, kegiatan penambangan karst PT Semen Indonesia di Rembang masih tetap berjalan.

Mereka pun meminta Presiden Joko Widodo segera mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia yang dikeluarkan oleh Ganjar dan menghentikan kegiatan penambangan karst oleh pabrik semen yang dinilai merusak lingkungan.

(Baca: Gagal Mengadu ke Jokowi, Petani Kendeng Ingin Temui Megawati)

Gunretno dari komunitas adat Sedulur Sikep yang mendiami kawasan Kendeng utara menuturkan, aksi protes yang dilakukan oleh petani Kendeng tidak semata bertujuan untuk mempertahankan hak hidup petani yang ada di Kabupaten Rembang saja, melainkan demi kelestarian alam di Jawa Tengah.

Aktivitas penambangan di kawasan karst, kata Gunretno, memiliki dampak yang merusak bagi keberadaan sumber air di bawah Pegunungan Kendeng.

Sementara, sudah puluhan tahun para petani di Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan bergantung pada sumber air dari Pegunungan Kendeng.

"Jawa Tengah seharusnya menjadi lumbung pangan karena daya tampung pulau Jawa itu tidak lagi mendukung untuk kegiatan eksploitasi seperti pabrik semen," ujar Gunretno dalam sebuah diskusi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/3/2017).

Kawasan yang dilindungi

Pada kesempatan yang sama, peneliti kawasan karst dari Masyarakat Speleologi Indonesia, Rodhial Falah, mengatakan, kawasan yang menjadi lokasi berdirinya Pabrik PT. Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, merupakan kawasan perbukitan batu kapur yang dikenal sebagai Gunung Watuputih.

Kawasan ini secara hukum telah ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Geologi melalui Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang Kabupaten Rembang Nomor 14 tahun 2011.

Selain itu, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 2011, Gunung Watuputih ditetapkan sebagai salah satu Cekungan Air Tanah (CAT) yang harus dilindungi.

"Kawasan yang diincar adalah kawasan perbukitan batu kapur yang dikenal masyarakat setempat sebagai Gunung Watuputih. Ironisnya, kawasan ini secara hukum telah ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Geologi," ujar Rodhial.

Rodhial menjelaskan, Gunung Watuputih tersusun oleh batu gamping yang telah mengalami proses karstifikasi, yakni proses pelarutan lebih lanjut oleh air hujan selama ribuan tahun menjadi kawasan karst.

(Baca: Pemerintah Tak Bisa Cegah Ganjar Teken Izin untuk Pabrik Semen di Kendeng)

Batu gamping yang telah berproses menjadi kawasan karst memiliki fungsi sebagai kawasan resapan air dan akuifer atau penyimpan air. Air hujan yang turun ke wilayah tersebut akan lebih banyak terserap oleh batu gamping daripada menjadi aliran permukaan.

Wilayah yang akan dijadikan lokasi penambangan semen oleh PT. Semen Indonesia di Rembang mampu menyerap air hujan sebesar 40-80 persen. Persentase itu, kata Rodhial, merupakan indikasi bahwa proses karstifikasi kawasan tersebut bernilai sedang-tinggi.

Sebagai kawasan resapan air, lokasi penambangan semen di Gunung Watuputih memberikan kontribusi yang signifikan bagi dua mata air, yaitu mata air Brubulan dan mata air Sumber Semen.

Dalam dokumen AMDAL PT. Semen Indonesia yang dipaparkan oleh Rodhial, lokasi izin usaha penambangan (IUP) merupakan 40 persen dari tangkapan mata air Brubulan.

Sementara itu, rencana penambangan batu gamping yang akan dilakukan hingga kedalaman 270-350 meter dapat dipastikan menghilangkan lapisan epikarst yang merupakan simpanan air terbesar di kawasan karst.

(Baca: Hari Kelima Protes Pabrik Semen, 50 Petani Kendeng Mencor Kaki di Depan Istana)

Hasil uji bahan perunut (water tracing) yang dilepaskan di lokasi calon tambang batu gamping menunjukkan ada keterkaitan sistem hidrologi mata Brubulan dengan lokasi tambang yang berjarak empat kilometer.

"Jika daerah tangkapan 40 persen itu dikupas dan dipotong, tentu hal ini akan mempengaruhi debit mata air Brubulan yang merupakan mata air vital bagi masyarakat untuk mandi, mencuci dan irigasi," ucap Rodhial.

Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron. Dia mengatakan peningkatan konsumsi semen tentu akan memerlukan tambahan kapasitas produksi dengan membangun pabrik-pabrik semen baru.

Namun, pembangunan tersebut juga berpotensi mengancam keberlanjutan fungsi kawasan karst (kapur) dan pelanggaran HAM masyarakat sekitar.

Berdasarkan hasil kajian dan pemantauan Komnas HAM sejak Juni 2015 hingga Agustus 2016, terdapat dampak negatif atas keberadaan pabrik semen terhadap hak atas kesehatan, hak atas lingkungan hidup, dan hak atas air.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Puan Lantik 3 Srikandi Anggota PAW dari Fraksi P-Nasdem, PPP, dan PKB

Puan Lantik 3 Srikandi Anggota PAW dari Fraksi P-Nasdem, PPP, dan PKB

Nasional
Jokowi Gelar Bukber di Istana, Wapres Singgung soal Kendalikan Nafsu Saat Berikan Tausiyah

Jokowi Gelar Bukber di Istana, Wapres Singgung soal Kendalikan Nafsu Saat Berikan Tausiyah

Nasional
Misi Kemanusiaan di Palestina, Fadli Zon Harap Kerja Sama Lembaga Zakat Indonesia-UNRWA Segera Dibentuk

Misi Kemanusiaan di Palestina, Fadli Zon Harap Kerja Sama Lembaga Zakat Indonesia-UNRWA Segera Dibentuk

Nasional
Soal Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis, Kubu Ganjar-Mahfud: Alasan Mengada-ada

Soal Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis, Kubu Ganjar-Mahfud: Alasan Mengada-ada

Nasional
DPR Setujui Perpanjangan Waktu Pembahasan RUU KIA, Puan Ungkap Alasannya

DPR Setujui Perpanjangan Waktu Pembahasan RUU KIA, Puan Ungkap Alasannya

Nasional
Arus Mudik Lebaran 2024 Diperkirakan Melonjak, Komisi V DPR Minta Kemenhub Serius Siapkan Kelaikan Angkutan Umum

Arus Mudik Lebaran 2024 Diperkirakan Melonjak, Komisi V DPR Minta Kemenhub Serius Siapkan Kelaikan Angkutan Umum

Nasional
Yakin MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, TKN: Gugatannya Tidak Masuk Akal

Yakin MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, TKN: Gugatannya Tidak Masuk Akal

Nasional
Kemenko Polhukam Identifikasi 1.900 Mahasiswa Jadi Korban TPPO Bermodus 'Ferienjob' di Jerman

Kemenko Polhukam Identifikasi 1.900 Mahasiswa Jadi Korban TPPO Bermodus "Ferienjob" di Jerman

Nasional
Lewat Telepon, Putra Mahkota Abu Dhabi Ucapkan Selamat ke Gibran

Lewat Telepon, Putra Mahkota Abu Dhabi Ucapkan Selamat ke Gibran

Nasional
Cerita soal Saham Freeport, Jokowi: Seperti Tak Ada yang Dukung, Malah Sebagian Mem-'bully'

Cerita soal Saham Freeport, Jokowi: Seperti Tak Ada yang Dukung, Malah Sebagian Mem-"bully"

Nasional
Akui Negosiasi Alot, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapatkan 61 Persen Saham Freeport

Akui Negosiasi Alot, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapatkan 61 Persen Saham Freeport

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Tolak Gugatan ke MK Disebut Salah Alamat oleh KPU

Kubu Ganjar-Mahfud Tolak Gugatan ke MK Disebut Salah Alamat oleh KPU

Nasional
Jokowi Gelar Buka Puasa di Istana, 2 Menteri PDI-P Tak Tampak

Jokowi Gelar Buka Puasa di Istana, 2 Menteri PDI-P Tak Tampak

Nasional
Polisi Tangkap 5 Tersangka Pengoplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Polisi Tangkap 5 Tersangka Pengoplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Nasional
Jokowi Buka Puasa Bersama Para Menteri, Duduk Semeja dengan Prabowo-Airlangga

Jokowi Buka Puasa Bersama Para Menteri, Duduk Semeja dengan Prabowo-Airlangga

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com