Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amnesty Sebut Mereka Ini Pemimpin "Berbahaya bagi Dunia"

Kompas.com - 22/02/2017, 14:33 WIB

KOMPAS.com — Kelompok pegiat hak asasi manusia, Amnesty International, telah mengamati sejumlah tokoh atau pemimpin dunia dewasa ini yang gaya dan karakternya membuat warganya terbelah.

Amnesty International (AI) juga mengatakan, banyak pemerintahan dunia mengeksploitasi pengungsi untuk kepentingan politik.

Para politikus, khususnya Donald Trump, yang kini adalah Presiden ke-45 AS, telah menggunakan retorika yang memecah belah dan merendahkan martabat manusia lain.

Trump dipandang telah menciptakan dunia yang lebih terbelah dan berbahaya, kata kelompok hak asasi manusia tersebut.

Laporan tahunan AI itu menyebut Presiden Trump sebagai contoh dari “politik kemarahan dan memecah belah.”

Mereka juga menunjuk sejumlah pemimpin lain, seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban, dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang dikatakan menggunakan narasi ketakutan, penuh tudingan, dan memecah belah.

TED ALJIBE / AFP Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin muda Korea Utara, Kim Jong Un, tidak disebut oleh AI sebagai pemimpin berbahaya.

Putin dikecam Barat dan AS karena aneksasi Krimea dari Ukraina, mengintimidasi negara-negara Balkan. Sedangkan Jong Un dikecam karena program nuklirnya yang agresif.

Laporan yang mencakup 159 negara itu menyebut terjadinya peningkatan pernyataan kebencian di AS dan Eropa yang diarahkan kepada pengungsi dan mengatakan gaungnya akan berakibat pada meningkatnya serangan atas dasar ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan agama.

AI mengkritik negara-negara yang menurut mereka dulunya merupakan pelopor hak asasi di seluruh dunia kini justru mengalami kemunduran dalam hal HAM.

"Alih-alih memperjuangkan hak-hak rakyat, begitu banyak pemimpin yang mengadopsi agenda yang merendahkan manusia lain untuk kepentingan politik," kata Salil Shetty, Sekretaris Jenderal AI, dalam sebuah pernyataan.

Batas-batas tentang apa yang bisa diterima telah bergeser.

The New Observer Viktor Orban
“Politisi tanpa malu-malu dan secara aktif melegitimasi segala macam retorika dan kebijakan penuh kebencian berdasarkan identitas orang: mereka menunjukkan kecenderungan misoginis (kebencian pada perempuan), rasialisme, dan homofobia."

Kelompok AI secara khusus mengacu pada perintah eksekutif Trump bulan lalu yang melarang masuknya pengungsi dan imigran dari tujuh negara mayoritas Muslim.

Menurut mereka, Trump mewujudkan "retorika penuh kebencian xenofobia pra-pemilu" menjadi tindakan dengan menandatangani ketetapan itu.

Presiden AS, yang baru-baru ini mengatakan bahwa ia orang “yang paling kurang rasialis” dan “paling kurang anti-Semit”, diagendakan untuk meluncurkan perintah eksekutif baru pekan ini.

AI juga menyebutkan Duterte, Erdogan, dan Orban sebagai pemimpin yang menggunakan retorika “kita versus mereka”.

Reuters/M Sezer Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan marah besar pasca percobaan kudeta, 15 Juli 2016.
"Tahun 2016 adalah tahun ketika penggunaan narasi sinis ‘kita versus mereka’ yang penuh tudingan, kebencian, dan ketakutan, jadi begitu menonjol di seluruh dunia dalam tingkat yang tidak pernah tampak sejak 1930-an," kata Shetty merujuk tahun ketika Adolf Hitler naik ke tampuk kekuasaan di Jerman.

"Sebuah tatanan dunia baru yang menganggap HAM sebagai penghalang kepentingan nasional membuat kemampuan untuk mengatasi kekejaman massal sangat rendah, membuka pintu bagi pelanggaran yang dulu terjadi pada zaman paling kelam dari sejarah manusia."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com