Kalau tidak ada peristiwa Brexit (dan kemudian kemunculan Donald Trump), saya tidak akan terbang ke Amerika Serikat.
Pagi hari, pada 23 Juni 2016, saya mendarat di London, dan berada di antara jutaan orang yang sedang tercengang oleh serangan balik para pemilih Brexit terhadap isu perbatasan, perdagangan terbuka dan bebas, serta serangan terhadap kaum elit kosmopolitan.
Sementara itu, melalui "Ceritalah USA", saya ingin mengeksplorasi apa yang sedang dipertaruhkan dari pemilu presiden di Amerika Serikat bagi dunia.
Melalui kolom ini, saya ingin membantu para pembaca baik yang berada di Kota Quezon, Danang, Kuching, atau pun Surabaya, untuk memahami apakah persaingan yang buruk antara internationalist-cum-technocrat Hillary Clinton dan America First Trump bisa berarti bagi wilayah kita.
Kita perlu tahu apakah Amerika masih sebagai negara superpower atau mungkin namanya tak sebesar dulu lagi? Setelah menjadi "penguasa" Asia Pasifik sejak Perang Dunia II, apakah pengaruhnya masih akan terus berlanjut?
Atau mungkin keperkasaan Amerika malah menyusut dalam menghadapi persaingan dengan China, dan membiarkan Asia Tenggara menjadi kawasan di bawah pengaruh China seperti halnya Kepulauan Karibia bagi Amerika?
Apakah "Poros Asia"-nya Barrack Obama telah mengalami reposisi, atau Trans Pacific Partnership yang hampir dipastikan gagal telah menandai runtuhnya ambisi itu?
Sebagaimana ciri khas "Ceritalah", saya akan turun langsung bertemu dengan warga Amerika, mendengarkan suara-suara mereka, terutama dari diaspora Asia Tenggara.
Apakah mereka, para diaspora ini diperkirakan ada 4 juta warga Filipina, dan 1,8 juta warga Vietnam-Amerika-- masih optimistis dengan sebait lirik "Land of the Free" dan "Home of The Brave" dalam lagu kebangsaan Amerika?
Apa yang warga Filipina-Amerika pikirkan tentang tekad Presiden Duterte memisahkan diri dari Amerika?
Saya juga akan menjelajahi beberapa negara bagian, termasuk pusat industri teknologi kelas dunia Silicon Valley, daerah warga Latin di Texas Selatan, daerah perairan di Arkansas, Michigan, Baltimore, Washington DC, dan akhirnya kota dunia, New York New York (lebih enak kalau menyebutnya dua kali).
Saya mendarat di London pada hari dilaksanakannya pemungutan suara "Brexit" untuk menjenguk ibu saya, 83 tahun, yang baru jatuh dan mengalami patah kaki.
Sopir taksi yang mengantar saya adalah seorang kelahiran Bangladesh. Dia bercerita, "Saya hidup dari para pengunujng yang datang. Gila kalau saya memilih Brexit. Di sana, banyak orang tidak senang karena merasa terlalu banyak imigran di sekitarnya. Soal ini tidak betul-betul dilaporkan. Seperti tadi pagi, ketika saya mengantre untuk memilih, saya dikelilingi oleh mereka yang dengan tegas tidak senang dengan imigran."
Anehnya, supir taksi ini sama sekali tidak menganggap dirinya imigran. Ketika saya menjenguk ibu saya di rumah sakit di daerah Suffolk, yang mayoritas suara sangat setuju dengan Brexit, saya ingat ibu saya menggelengkan kepalanya ketika saya memberinya salinan Financial Times tentang yang mendukung keras Brexit.