Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bocah Ini Pergi Sendirian Sejauh 400 Kilometer untuk Terapi Leukemia

Kompas.com - 05/10/2016, 10:18 WIB

BEIJING, KOMPAS.com — Sejak Shi Luyao, bocah berusia 11 tahun, didiagnosis menderita leukemia limfotik akut pada 2013, kehidupan anak ini berubah.

Untuk mengobati penyakit itu dibutuhkan kemoterapi jangka panjang yang harus dipantau dengan proses biopsi sumsum tulang belakangnya.

Sayangnya, hanya sebagian biaya pengobatan ini yang ditanggung asuransi karena proses terapi harus dilakukan di provinsi Anhui tempat ayah Luyao bekerja, bukan di Guizhou tempat tinggalnya.

Selama dua tahun terakhir, demi pengobatan putranya itu, ayah Luyao terpaksa meminjam uang hingga 200.000 yuan atau sekitar Rp 389 juta untuk menyembuhkan Luyao.

Pada Agustus lalu, setelah menjalani kemoterapi dan kondisinya membaik, Luyao pulang ke Guizhou, tetapi masalah tak berhenti di sana.

Setelah pulang, Luyao harus menjalani proses biopsi sumsum tulang belakang di sebuah rumah sakit di kota Kunming, 400 kilometer dari kediamannya.

Dia harus melakuan perjalanan ini sendirian karena dia hanya tinggal bersama sang kakek yang renta, sedangka sang ibu meninggalkan keluarganya sejak Luyao berusia dua tahun.

Dari kediamannya, Luyao harus menggunakan bus hingga ke kota Liupanhui sebelum naik kereta api ke Kunming, ibu kota provinsi Yunnan.

Kepada wartawan yang menemuinya, Luyao menceritakan bagiamana dia kerap harus menunggu kedatangan kereta api hingga enam jam.

Selama enam jam itu, dia harus berusaha menahan tangis karena dia tak ingin orang lain tahun bahwa dia berada di stasiun kereta api sendirian.

Proses biopsi yang menyakitkan itu biasanya membuat dokter merekomendasikan agar seseorang beristirahat beberapa jam.

Namun, Luyao langsung memulai perjalanan pulang seusai menjalani biopsi sehingga dia bisa mengejar waktu untuk kembali ke sekolah. Demikian dikabarkan harian China Daily.

Saat kembali ke kota Liupanshui, dia harus menanti hingga pagi sebelum naik ke bus pertama yang akan membawanya pulang.

"Saya tak ingat lagi berapa banyak saya melihat matahari terbit di stasiun kereta api," kata Luyao sambil berderai air mata.

Namun, bagi Luyao, perjalanan melelahkan itu seakan tak dirasakannya setelah dia bisa kembali pulang tepat waktu untuk bersekolah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com