Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/09/2016, 09:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Donald Trump dalam debat pertama calon presiden (capres) Amerika Serikat (AS) tetaplah Donald Trump yang selama ini dilihat publik dalam satu tahun terakhir. Agresif, meledak-ledak, kasar, gampang tersulut, dan tidak koheren.

Demikianlah gaya taipan realestat ini ketika berdebat dengan 16 lawannya di pemilihan pendahuluan (primary) Partai Republik.

Ketika itu, Trump tetap saja lolos dengan mudah mengingat terlalu banyak kontestan di panggung debat sehingga konsentrasi moderator ataupun penonton terpecah belah.

Tidak sedikit yang yakin, Trump akan mengubah gayanya dalam debat dengan capres Partai Demokrat, Hillary Clinton, yang digelar di Universitas Hofstra, Hempstead, New York, Selasa (27/9/2016) pagi waktu Indonesia.

Melawan seorang Hillary yang sudah malang melintang selama 40 tahun di kancah politik Amerika dengan kemampuan dan pengalaman yang tidak diragukan lagi, Trump dinilai akan tampil lebih tenang dan disiplin untuk menandingi Hillary.

Memang, pada 15 menit pertama, pebisnis berusia 70 itu tampil cukup baik dengan menjelaskan kebijakan ekonominya. Dia juga tidak segan mengkritik Hillary yang menurutnya tidak berbuat banyak walau sudah menghabiskan puluhan tahun di dunia politik.

Namun, Hillary yang diberitakan mempersiapkan diri dengan sangat matang untuk debat ini telah menyiapkan strategi khusus. Umpan itu rupanya berhasil memerangkap Trump yang kemudian menghabiskan sisa debat dengan sibuk membela dirinya dari sejumlah serangan.

Melawan seorang dengan kepribadian narsisisme yang luar biasa, Hillary dengan cerdas menyindir sosok Trump yang dinilai beruntung dalam hidup, dan kerajaan bisnisnya yang menggurita tidak lebih berkat bantuan modal awal yang diberikan ayahnya yang kaya raya, Fred Trump.

Seperti yang diduga, Trump tersulut dan kemudian dengan agresif lebih banyak menghabiskan waktu membela dirinya dan bisnis yang dikelolanya dibanding menjelaskan ke publik Amerika kebijakan apa yang ditawarkannya untuk menyelesaikan sejumlah masalah Negeri Paman Sam.

Kedongkolan Trump semakin bertambah ketika moderator Lester Holt menanyakan mengapa dia tidak kunjung merilis pajak yang telah dibayarnya.

Hillary, yang tahu benar bagaimana lawannya sudah begitu panas, berhasil melancarkan serangan maut dengan menyebut ada tiga kemungkinan alasan Trump tidak sudi merilis catatan pajaknya.

Pertama, Trump tidaklah sekaya seperti yang diduga banyak orang. Kedua, Trump tidaklah sedermawan seperti yang diduga juga oleh banyak orang. Ketiga, mungkin saja Trump tidak ingin rakyat Amerika tahu bahwa sesungguhnya dia tidak pernah membayar pajak.

Celakanya, Trump kemudian merespons ucapan mantan Menteri Luar Negeri itu dengan mengatakan tidak merilis pajak membuatnya terlihat pintar.

Bagi seorang Trump dengan ego kelaki-lakiannya yang luar biasa tinggi, menyerang bisnisnya, seperti soal bagaimana dia mendirikannya, dan mengenai pajak perusahannya, adalah hal yang tidak dapat diterima.

Hillary tahu benar bagaimana menggunakan strategi perang psikologis ini untuk mengacaukan emosi Trump yang memang terkenal tidak stabil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com