Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengungsi Anak, Menemukan Kebahagiaan di Sanggar Belajar

Kompas.com - 20/06/2016, 10:32 WIB

Tim Redaksi

"Good Morniiiing! How are you?" belasan anak berusia 5-7 tahun di Cisarua Refugee Learning Centre, Bogor, serentak menyapa dengan suara lantang.

Senyum merekah dan jabat tangan diberikan guru serta anak-anak kepada tamu yang berkunjung. Hangat. Seperti saudara yang lama tak bersua.

Pagi itu mereka sedang mengerjakan soal human arts (seni dan sejarah) untuk ujian semester akhir.

Semangat anak-anak itu yang membuat Madiha Ali (16), remaja cantik yang fasih berbahasa Inggris, selalu senang mengajar Sains, Sejarah, Matematika, dan Bahasa Inggris.

Sejak Cisarua Refugee Learning Centre (CRLC) berdiri, dua tahun lalu, ia sudah menjadi relawan guru. Bukan hanya untuk anak-anak, juga kelas lebih tinggi dengan murid seusia dengannya, bahkan lebih tua.

"Awalnya canggung, tetapi lama-lama biasa karena ikatan kami seperti keluarga dan senasib. Bisa saling berbagi," kata Madiha, yang tiba di Indonesia tiga tahun lalu.

Saling berbagi penting untuknya karena sebagai pengungsi ada saja masalah.

Kangen kampung halaman, murung karena bosan tak ada kegiatan, atau ketularan stres orangtua yang tak sabar menunggu penempatan di negara tujuan.

"Kalau ada yang ditolak negara tujuan dan harus kembali ke negaranya, saya ikut hilang harapan," kata Madiha, yang bersama keluarganya datang dari Quetta, Pakistan.

Setelah berharap cemas menunggu kabar sekian lama, lalu mendapat kabar buruk, rasanya seperti langit runtuh.

Kabar buruk seperti itu membuyarkan harapan pengungsi dan  pencari suaka.

Padahal, harapan itulah satu-satunya pegangan yang membantu pengungsi dan  pencari suaka yang saat ini jumlahnya sekitar 13.700 orang di Indonesia, bertahan hidup.

"Saya masih punya harapan. Kebahagiaan ada dalam diri kita. Kebahagiaan bisa ditemukan di mana pun kita berada," kata Madiha.

Sebelum ada CRLC, dara yang ingin tinggal di Australia itu merasa tertekan berdiam di tempat pengungsian tanpa kegiatan. Sering menangis karena kangen kampung halaman.

Namun, dengan mengajar empat hari seminggu, dari pagi sampai siang, kini tak ada waktu untuk bersedih.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com