Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Dosen Yogyakarta Berpuasa di Tasmania

Kompas.com - 09/06/2016, 12:07 WIB

HOBART, KOMPAS.com -  Wajiran, seorang mahasiswa doktoral di Universitas Tasmania (UTAS, membagi kisahnya menjalankan ibadah puasa di pulau yang terpisah dari daratan Australia itu.

 

Salah satu hal istimewa yang dirasakannya di Tasmania adalah akses mushola di kampusnya terbuka selama 24 jam selama bulan Ramadhan.

Menurutnya petugas keamanan UTAS sudah memahami dan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk keluar masuk di gedung tempat mushola berada.

"Saya kira ini adalah bentuk toleransi yang bagus untuk ditingkatkan, karena dengan demikian mahasiswa Muslim akan merasa aman dan nyaman dalam beribadah." kata Wajiran kepada wartawan ABC Australia Plus Indonesia L. Sastra Wijaya.

Wajiran tiba di ibu kota Tasmania, Hobart  pada Agustus 2014. Dia sebelumnya adalah dosen di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta dan saat ini sedang menempuh Program Doktor (S3) untuk jurusan Asian Studies.

"Jadi saya sudah tinggal di kota Hobart ini kurang lebih hampir dua tahun, tepatnya satu tahun sepuluh bulan." katanya.

Yang membedakan Tasmania dengan bagian Australia lainnya adalah musim dinginnya yang sangat menggigit.

"Ketika tiba di bulan Agustus itu, cuaca sangat dingin sehingga pengalaman tidak terlupakan bagi saya adalah saat minggu pertama tidak bisa tidur karena kendinginan," kenangnya.

"Cuaca di Hobart memang sangat jauh berbeda dengan Indonesia, sehingga saya membutuhkan waktu cukup lama untuk menyesuaikan diri meskipun sampai sekarang pun jika sedang musim dingin masih saja sangat terasa." katanya lagi.

Rindu makanan Indonesia

Dalam tahun pertamanya di Tasmania, Wajiran terpaksa hidup "membujang" dan menjalani puasa seorang diri, karena istri dan anaknya masih berada di Indonesia

"Selama puasa di sini saya tidak menemukan kendala berarti selama Ramadhan. Aktivitas selama Ramadhan juga saya lakukan seperti biasa. Saya banyak menghabiskan bulan puasa tahun lalu di mushola kampus," kata dia.

"Kebetulan kampus kami menyediakan fasilitas yang cukup memadai untuk kegiatan komunitas Muslim. Terbukti selain menyediakan mushola juga beberapa kali memberikan dana untuk kegiatan buka bersama dan kegiatan lain," kata Wajiran.

Wajiran mengatakan dia aktif dalam organisasi Tasmania University Muslim Society (TUMS) dan pada  Ramadhan tahun lalu ikut dalam berbagai program organisasi ini.

Program utama selama Ramadhan adalah buka bersama di mushola kampus setiap Senin sampai Kamis sore. Program ini diutamakan bagi mahasiswa muslim, tetapi terkadang ada beberapa mahasiswa non-muslim yang ikut serta.

"Bahkan program ini dianggap sebagai program kegiatan mahasiswa yang paling sukses di UTAS karena mampu menghadirkan banyak partisipan dari berbagai kalangan." tambahnya lagi.

Dari segi ritual puasa, menurut Wajiran, pelaksanaan puasa Ramadhan di Tasmania tidak begitu terasa bedanya dengan di Indonesia.

"Hanya saja variasi makanan yang sangat berbeda dengan selera kita, sehingga sering membuat kita merasa rindu makanan khas kampung halaman," ujar dia.

"Kebetulan, sebagian besar Muslim di Hobart berasal dari negara-negara Arab, Malaysia dan Pakistan, itu sebabnya makanan yang dihidangkan rasanya sering tidak pas dengan selera saya." tambahnya.

Wajiran melanjutkan, jumlah mahasiswa Muslim dari Indonesia yang sangat sedikit. Sehingga cukup sulit bagi mereka untuk membuat tim memasak khas masakan Indonesia.

"Itu sebabnya biasanya kita hanya ikut iuran, sehingga pengolahan masakannya mengikuti teman-teman yang punya tim khusus untuk memasak sesuai dengan asal negara mereka." katanya lagi.  

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com