KOMPAS.com — Sejumlah pria dan wanita bergegas masuk ke sebuah bangunan tiga lantai yang ada di Jeffcott Street di Melbourne, Minggu (5/6/2016). Udara pada awal musim dingin bersuhu 12 derajat celsius, ditambah hujan baru saja turun, tidak menyurutkan langkah mereka untuk datang ke salah satu masjid di jantung ibu kota negara bagian Victoria, Australia, ini.
Senyum menghiasi wajah mereka. Para pria datang dengan berpakaian santai, mengenakan kemeja atau kaus, lalu berbalut baju hangat atau jaket tetapi rapi, sementara hampir semua wanita mengenakan gamis panjang dan berhijab.
Sepasang suami istri dan dua anaknya tiba 20 menit sebelum shalat tarawih dimulai. Sang istri yang berhijab mendorong kereta bayi, sedangkan sang suami menggandeng anak lelakinya. Sang suami terlebih dahulu mengantar istri dan kedua anaknya ke lantai dua, tempat yang disediakan untuk kaum wanita menunaikan shalat, sebelum turun ke bawah.
Di lantai satu bangunan bekas warehouse yang dialihfungsikan sebagai Masjid Jeffcott ini, para pria melepas sepatu dan baju hangat, melakukan wudhu, lalu mengambil tempat untuk shalat.
Lantai satu dipenuhi ratusan pria, sementara di lantai dua puluhan wanita dari berbagai latar belakang bangsa dan profesi bersiap untuk shalat.
“Jemaah masjid ini sangat multikultural. Sebagian besar yang datang adalah pekerja kantoran, pelajar, sopir taksi. Tetapi, dari mana mereka berasal itu sangat beragam. Tak ada etnis yang dominan dari jemaah di sini,” kata Ayman Islam, Manajer Pelayanan Islamic Council of Victoria (ICV), yang ditemui sebelum shalat tarawih dimulai.
Ayman mengatakan, ada sekitar 8 persen warga Indonesia yang biasa ikut melakukan shalat di masjid ini. Namun, karena tidak ada registrasi khusus untuk jemaah, dia tidak mengetahui angka detailnya.
Menanti-nanti
Sebelumnya, sudah lima kali Fatimah mengikuti shalat tarawih di Jeffcott.
Perempuan asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, ini mengaku selalu menantikan suasana shalat tarawih selama Ramadhan di masjid berkapasitas 700-800 orang ini.
Melalui berbagai aktivitas yang digelar selama Ramadhan, Fatimah bisa menjalin persahabatan dan belajar sebagai seorang Muslimah dari teman-teman perempuan dari berbagai latar belakang bangsa.
“Di masjid ini kan multikultural. (Saat Ramadhan), semua sama-sama mau tarawih dan shalat. Semua sisters and brothers. Itu rasanya istimewa sekali. Meski jauh dari keluarga, tetapi kita bisa mendapatkan rasa kekeluargaan dari saudara perempuan dan laki-laki dari negara lain,” ungkap Fatimah.
Perempuan berusia 29 tahun ini lalu berbinar-binar saat menceritakan pengalaman-pengalaman ibadah Ramadhan bersama teman-teman dari negara jiran Indonesia, seperti Brunei, Singapura, dan Malaysia.
“Kami kan sama-sama budaya Asia, itu jadi dekat banget. Seperti menemukan persahabatan yang spesial. Saling mendorong untuk melakukan ini itu. Jadi, (masjid) ini seperti tempat yang baik untuk belajar Islam, menambah teman, dan menjadikan Ramadhan istimewa,” tuturnya.