Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggota ISIS Diduga Konsumsi Obat Anti-depresi Captagon

Kompas.com - 25/11/2015, 14:30 WIB
PARIS, KOMPAS.com — Apa mungkin membantai puluhan orang tak berdosa bisa dilakukan tanpa mengedipkan mata, tanpa penyesalan sedikit pun? Beberapa korban selamat dari serangan Paris menggambarkan, para penyerang bersenjata tampak tenang ketika mereka menarik pemicu dan membunuh banyak orang.

Media Perancis melaporkan bukti bahwa para penyerang di bawah pengaruh obat, yang ditemukan hampir secara eksklusif di Timur Tengah, dan semakin banyak digunakan oleh anggota kelompok ISIS.

Obat itu dijuluki "obat militan" karena kemampuannya untuk menutupi rasa sakit, rasa takut, dan rasa lapar, serta membuat para anggota militan tetap terjaga, tenang, dan waspada untuk waktu yang lama.

Captagon, pil berbasis amfetamin sintetis, dianggap sebagai obat pilihan anggota ISIS di Suriah, Irak, dan sekarang tampaknya di Paris.

Ketika polisi Perancis menggerebek kamar hotel di Alfortville, tenggara Paris, pada pekan lalu, mereka menemukan tumpukan jarum suntik dan tabung plastik.

Hotel Appart'City di Alfortville adalah tempat penyerang kedelapan, yakni Salah Abdeslam, yang diduga menyewa dua kamar selama beberapa hari, menjelang serangan.

Tes forensik belum mengonfirmasi sifat bahan kimia yang ditemukan, dan polisi belum mengesampingkan kemungkinan adanya bahan peledak kimia yang digunakan untuk mempersiapkan rompi bunuh diri dalam serangan itu.

Namun, menurut laporan media Perancis, ada peningkatan terkait bukti bahwa para penyerang di Paris kemungkinan telah mengkonsumsi Captagon untuk mempersiapkan diri mereka, beberapa jam sebelum serangan 13 November.

Beberapa saksi yang selamat dari serangan menggambarkan para pria bersenjata itu terlihat seperti zombie, seakan terbius oleh obat-obatan terlarang.

"Saya melihat seorang pria menembak. Saya melihat seorang pria yang damai, dengan wajah yang hampir tenang, kontemplatif, maju ke bar," kata seorang saksi kepada stasiun televisi Perancis, M6.

"Mereka seperti zombie. Seolah-olah dibius," ungkap saksi lainnya yang telah menyaksikan beberapa pria bersenjata memarkir mobil VW Polo hitam di luar restoran, sesaat sebelum penyerangan terjadi.

Captagon awalnya sebagai obat depresi

Captagon awalnya diproduksi di Barat tahun 1960-an untuk mengobati sejumlah kondisi, seperti hiperaktif dan depresi. Namun, kemudian, peredarannya dilarang di sebagian besar negara karena sifat adiktifnya.

Kini, obat itu sangat banyak ditemukan di Timur Tengah, terutama Suriah, tempat produksi dan penggunaannya telah melonjak sejak awal perang saudara di negara itu.

Obat tersebut berisi fenethylline stimulan, yang diserap oleh hati untuk memproduksi amfetamin dan teofilin, yang mengalir melalui aliran darah ke otak dan bertindak sebagai stimulan.

Para pakar obat, pedagang, dan aktivis lokal mengatakan, produksi Captagon di Suriah mulai ditingkatkan tahun 2013, melampaui produksi di negara-negara lain di kawasan itu, seperti Lebanon.

Pasukan Pemerintah Suriah dan kelompok pemberontak, tahun lalu, menuduh bahwa satu sama lain telah menggunakan Captagon untuk bertahan dari serangan, tanpa tidur, sementara para dokter mengatakan, warga umum Suriah juga semakin banyak menggunakan pil, yang dijual seharga 5 dollar hingga 20 dollar (atau setara Rp 50.000-Rp 200.000) tersebut.

Selain membantu pasukan dan anggota militan bertahan sepanjang pertempuran, Captagon, menurut laporan wawancara dengan para pihak yang terkait dengan perdagangan, juga menghasilkan ratusan juta dollar dalam pendapatan tahunan Suriah, dan berpotensi mendanai pembelian senjata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com