Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi "Merkel Muslim" Muncul Saat Relokasi Migran Dimulai

Kompas.com - 07/10/2015, 12:04 WIB
BERLIN, KOMPAS.com — Sebuah jaringan televisi Jerman dituduh rasialis setelah menayangkan sebuah foto hasil rekayasa Photoshop yang menunjukkan Kanselir Jerman Angela Merkel mengenakan jilbab.

Foto tersebut, yang menampilkan Merkel mengenakan jilbab tradisional di depan menara dan Gedung Reichstag, digunakan sebagai latar belakang perdebatan tentang imigrasi dalam acara laporan dari Berlin.

Saluran televisi itu, ARD, dibanjiri keluhan setelah menayangkan "Merka", panggilan untuk Merkel. Pihak ARD mengklaim hal tersebut sebagai satire.

"Kami menganggap bentuk satire ini representasi yang sesuai dengan nilai-nilai jurnalistik kami. Kami menolak setiap insinuasi bahwa kami melakukan propaganda Islamofobia," kata televisi itu dalam sebuah pernyataan setelah para pemirsa mengeluh di halaman Facebook-nya.

Banyak pemirsa dilaporkan telah menuduh lembaga penyiaran tersebut menyebarkan Islamofobia dan sengaja memprovokasi sentimen anti-Muslim.

Merkel, yang sedang dalam kunjungan tiga hari ke India, sebelumnya dipuji sebagai "malaikat yang berbelas kasih" karena memimpin penyambutan Eropa terhadap para pengungsi.

Jerman pekan ini menaikkan perkiraan penerimaan pengungsinya dari 800.000 menjadi 1 juta orang demi menangani krisis migran yang belum pernah terjadi sebelumnya di Eropa. Para migran itu berasal dari Timur Tengah, terutama Suriah, serta Afrika dan kawasan dunia lainnya.

Hari Minggu, negara-negara Uni Eropa dilaporkan telah menyetujui sebuah rencana untuk membendung aliran pengungsi dengan mengawasi perbatasan Turki dengan Yunani dan mendirikan enam kamp pengungsi baru di Turki yang mampu menampung hingga 2 juta orang. Kamp-kamp itu sebagian dibiayai oleh Uni Eropa.

Namun, sentimen rakyat terhadap para pengungsi tampaknya memudar di beberapa bagian Eropa.

Di Austria, Wali Kota sosialis Vienna mungkin akan menjadi politisi pertama di Eropa yang akan digulingkan oleh krisis pengungsi yang telah membuat tegang hubungan dan mengecewakan para pemilih dari Inggris hingga Balkan.

Michael Haeupl dari Partai Sosial Demokrat melihat cengkeraman partainya di ibu kota Austria terancam untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II saat orang-orang yang frustrasi karena  meningkatnya harga sewa dan upah yang stagnan beralih ke Partai Kebebasan yang anti-imigrasi demi menghentikan masuknya arus pengungsi secara tiba-tiba.

Puluhan ribu pengungsi yang tiba di Vienna tahun ini akan menambah populasi migran yang sudah merupakan 40 persen dari penduduk kota. Kondisi itu memicu kekhawatiran bahwa ibu kota negara tersebut akan kehilangan identitas Austria-nya. Para pemilih di antara 1,8 juta penduduk Vienna menyebut krisis pengungsi, pengangguran, dan meningkatnya biaya hidup sebagai tiga isu utama dalam pikiran mereka. Demikian menurut sebuah jajak pendapat pra-pemilu.

Seorang politisi senior Inggris mengutip pidato anti-imigrasi mantan Perdana Menteri Australia John Howard ketika mengatakan dalam konferensi Partai Konservatif bahwa Inggris "harus punya sistem imigrasi yang memungkinkan kita untuk mengontrol siapa yang datang ke negara kita". "Ketika imigrasi terlalu tinggi... tidak mungkin untuk membangun masyarakat yang kohesif," kata Theresa May.

Kontoversi "Merkel Muslim" muncul saat program Uni Eropa untuk memindahkan 40.000 pengungsi yang sudah berada di Eropa akan dimulai pada Jumat mendatang. Sekelompok orang Eritrea akan berangkat dari Italia ke Swedia. Jumlah pengungsi yang dipindahkan itu tidak diungkap. Namun, Swedia setuju pada Juli lalu untuk mengambil lebih dari 800 pengungsi dari Italia dan hampir 550 pengungsi dari Yunani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com