Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Ali Imron Temui Keluarga Korban Bom Bali

Kompas.com - 05/08/2015, 05:27 WIB


KOMPAS.com
 — Pria yang mengendarai mobil van berisi peledak dalam peristiwa Bom Bali bertemu langsung dengan sahabat dan keluarga dari sejumlah korban tragedi tersebut.

Ali Imron, satu-satunya pelaku yang masih hidup, bertemu dengan Nyoman Rencini yang kehilangan suaminya, Jan Laczynski yang kehilangan lima sahabatnya, dan Ni Luh Erniati yang juga kehilangan suaminya.
 
Sebelum bertemu dengan Imron di penjara Jakarta, Nyoman Rencini dalam acara di TV SBS mengatakan, "Teman saya bertanya, 'Jika Ali Imron meminta maaf kepada kamu, apakah kamu mau memaafkannya?' Saya katakan, 'Saya tidak tahu, kita lihat saja nanti.'"
 
Dalam pertemuan itu, Laczynski bertanya kepada Ali Imron, "Mengapa Anda mau mengendarai kendaraan berisi bahan peledak itu?" dan "Apakah Anda bisa tidur nyenyak pada malam hari?"

Dua bom meledak di Jalan Legian, lokasi wisata populer di Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2012. Peristiwa ini menewaskan 202 orang.
 
Satu bom diledakkan di dalam Paddy’s Club oleh pelaku bunuh diri, dan satu bom lainnya diledakkan oleh pengebom bunuh diri di dalam mobil van yang diparkir di luar Sari Club.
 
Tiga terpidana pelaku pengeboman telah dieksekusi mati pada tahun 2008 lalu, sementara yang lainnya masih menjalani masa hukuman mereka di penjara.
 
Imron terhindar dari hukuman mati, dan sebaliknya dihukum penjara seumur hidup setelah mengaku bersalah dan menyatakan penyesalan serta bersedia bekerja sama dengan polisi. Dia kini menjalani program deradikalisasi dan mengubah pola pikir jihadnya.
 
Namun, terungkap dalam pertemuan tersebut, dirinya masih menerima undangan untuk melaksanakan pengeboman lagi di Bali, dan bisa "menemukan" bom meskipun berada di dalam penjara.
 
"Saya tidak bersyukur dengan peristiwa bom di Bali," katanya kepada Dateline. "Saya bersyukur bahwa saya salah satu pelaku yang menyadari kalau itu perbuatan salah, dan bertobat. Saya telah menyatakan permintaan maaf kepada semua orang, terutama korban dan keluarganya," katanya.
 
"Sejak itu, saya tidak pernah lagi membunuh orang. Saya bukan monster," ujar dia.
 
Ketika Imron memasuki ruangan, dia menawarkan diri untuk berjabat tangan. Namun, Laczynski menolak. Kemudian Laczynski mengatakan, "Tidak, terima kasih. Saya tidak akan berjabat tangan dengan seseorang yang telah membunuh 5 sahabat saya dan 88 warga Australia."

Nyoman Rencini, yang harus menunggu selama 2 bulan untuk mendapat konfirmasi atas kematian suaminya dan menyebabkan dia sekarang harus mengurus sendiri ketiga anaknya, mengatakan, "Orang bilang dia setengah manusia, setengah binatang."
 
"Beberapa teman mengatakan, saya sebaiknya membawa pisau atau benda tajam dan menggunakannya ke pelaku. Namun, kesadaran diri mencegah saya untuk melakukan hal seperti itu," ujarnya.
 
Dalam program Dateline, Imron mengatakan bahwa dia hanya mematuhi perintah pemimpinnya. "Saya hanya menjalankan perintah dari senior saya di Jemaah Islamiyah (JI) dan kakak saya, Mukhlas," kata Imron.
 
Menurut Imron, jika dia tidak menyelesaikan perintah itu, maka dia akan dikeluarkan dari JI dan dianggap sebagai pengkhianat.
 
Setelah pertemuan itu, Erniati mengatakan, "Saya tahu dia berpikir, dia mendengarkan, tetapi wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda simpati sama sekali."
 
Dampak pertemuan

Keputusan bagi korban, saudara, atau teman korban untuk bertemu pelaku dari peristiwa traumatis, seperti Bom Bali, bukan hal yang mudah dan bisa menimbulkan dampak psikologis yang berbeda-beda.
 
Sering kali pertemuan tersebut ditujukan agar mereka memahami peristiwa traumatis, tetapi dapat menimbulkan efek berbeda dan signifikan di antara individu.
 
Psikolog dari Universitas Queensland, Profesor Justin Kenardy, mengatakan bahwa dampaknya sangat banyak, tergantung apakah orang tersebut sudah memiliki kapasitas dan sumber daya untuk menangani emosi yang timbul karena pertemuan tersebut, atau sebaliknya.
 
"Jika seseorang benar-benar tertekan dan tidak benar-benar dalam kerangka berpikir yang benar, maka saya pikir ini adalah tindakan yang mungkin akan menjadi kontraproduktif," katanya.
 
"Pertemuan ini akan semakin menegaskan seluruh pikiran menakutkan dan membingungkan yang selama ini mereka coba atasi," ujarnya.
 
Namun, dalam beberapa hal, pertemuan ini bisa menjadi proses yang positif dan bermanfaat.
 
"Jika seseorang merasa didukung penuh dan relatif tahan atau berada dalam lingkungan yang dapat mendorong pemulihan trauma mereka dan mampu beradaptasi, maka pertemuan semacam ini akan menjadi sesuatu yang berguna," kata Profesor Kenardy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com