Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nuklir Iran Jadi Ujian Berat bagi Obama

Kompas.com - 26/07/2015, 19:25 WIB
KOMPAS.com - Perjanjian nuklir Iran dalam dokumen Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang diteken di Austria berbuntut masalah. Dibanggakan sebagai "kesepakatan bersejarah" oleh pihak yang terlibat, tetapi ditolak oleh Israel, kaum konservatif Iran, Arab Saudi, dan sebagian warga Amerika Serikat.

Iran dan AS kembali terlibat perang urat saraf. Teheran, seperti dirilis The Guardian, Sabtu (25/7), tiba-tiba meradang terhadap Washington yang mengeluarkan pernyataan bahwa kekuatan militer masih "di atas meja" jika Iran melanggar JCPOA yang diteken bersama enam negara kuat, 14 Juli lalu.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan ingin segera menyerang Iran. Ia merasa mendapat dukungan rakyatnya setelah sebuah jajak pendapat mengatakan, 47 persen responden mendukung aksi militer ke situs nuklir Iran.

Sebaliknya, petinggi Uni Eropa justru ingin cepat-cepat "menikmati" hasil kesepakatan itu. Setelah rombongan Wakil Kanselir Jerman Sigmar Gabriel mencuri start ke Teheran, pekan lalu, akan berbondong-bondong petinggi Eropa lainnya ke Iran.

Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius dan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini berencana ke Teheran pekan depan. Menlu Italia Paolo Gentiloni berencana tiba di Teheran pada 4 Agustus. Presiden Austria Heinz Fischer dijadwalkan akan terbang ke Iran pada 7 September.

Entah kita menerima, menolak, atau masa bodoh dengan JCPOA, kesepakatan itu memiliki konsekuensi mendalam bagi Timur Tengah yang sudah acap kali mengalami turbulensi keamanan akibat kekerasan atau konflik bersenjata. Kesepakatan yang kompleks tentu membutuhkan interaksi antara AS dan Iran di berbagai level.

Namun, justru di sana persoalannya. Meski Presiden Hassan Rouhani menyebut kesepakatan di Austria, 14 Juli, sebagai "cakrawala baru" dan "kemenangan politik" Iran, parlemen konservatif dan Garda Revolusi Iran menolak kesepakatan itu.

Ayatollah Ali Khamenei, penentu terakhir semua urusan negara, berbicara lebih keras lagi. Kesepakatan tidak menandakan perubahan sikap Teheran dalam hubungan Teheran-Washington dan kebijakan Teheran terhadap Timur Tengah.

"Kita sudah berulang kali mengatakan, kita tidak bernegosiasi dengan AS pada urusan regional atau internasional; bahkan tidak pada isu-isu bilateral," katanya, pekan lalu, yang disambut pekikan massa "Matilah Amerika" dan "Matilah Israel". Khamenei mendukung Hezbollah (Kompas, 20/7).

Kita semakin khawatir karena Israel mengancam akan mengerahkan kekuatan militernya untuk menghancurkan situs nuklir Iran meski itu dilakukan sendiri tanpa AS yang telah mengecewakannya.

Lantas, apa sikap AS? Kita gundah ketika Menhan Ashton Carter sebelum ke Israel, Arab Saudi, dan Jordania pada 19 Juli mengatakan, kemampuan AS untuk memakai kekuatan militer masih mungkin jika Iran melanggar JCPOA. Hal itulah yang membuat Teheran berang.

Obama menghadapi ujian berat. Tekanan politik dalam negeri kuat untuk menggagalkan kesepakatan. Ia harus bekerja keras untuk meyakinkan Kongres agar memahami bahwa JCPOA untuk "mencegah perang". Diplomasi berperspektif perdamaian ke Iran harus dilakukan seperti terhadap Kuba. (PASCAL S BIN SAJU)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2015, di halaman 5 dengan judul "Ujian Berat bagi Obama".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com