Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesan Ganjil Saat Berkunjung ke Perbatasan Korut

Kompas.com - 15/07/2015, 11:43 WIB
KOMPAS.com - Sejumlah pemuda Australia berkesempatan mengunjungi zona demiliterisasi (DMZ) di perbatasan Korea Utara-Selatan, sebuah pengalaman berkesan bagi mereka. Kunjungan ke DMZ ini adalah bagian dari MIKTA Young Professional Camp 2015 yang mereka ikuti.

Sejak berakhirnya Perang Korea di tahun 1953, Korea Utara, China dan unit Komando PBB (United Nations Command) menyepakati dibentuknya zona netral atau zona demiliterisasi (DMZ) selebar 4 kilometer, di desa Panmunjom.

Zona ini dibentuk sebagai bagian dari Perjanjian Gencatan Senjata di Semenanjung Korea dan kemudian menandai garis perbatasan antara Utara dan Selatan.

Hingga hari ini, DMZ terus bertahan dan bahkan telah menjadi atraksi wisata tersendiri bagi para wisatawan di Korea Selatan, tak terkecuali bagi sejumlah pemuda Australia yang berada di sana untuk mengikuti MIKTA Young Professional Camp 2015, yang baru saja berakhir 11 Juli.

Bart Csorba sudah sejak lama ingin mengunjungi DMZ dan ketika pertemuan pemuda MIKTA membawanya ke zona itu, ia sungguh bersemangat.

“Saya selalu ingin pergi ke DMZ. Cerita tentang zona itu selalu menarik bagi saya. Dan ketika ada di sana, saya benar-benar tertegun melihat situasinya, bagaimana para penjaga bersikap di sana. Buat saya, sungguh membingungkan melihat para penjaga memperkenalkan DMZ kepada turis seperti layaknya tempat biasa,” ungkap pria Australia keturunan Hungaria ini.

Keterkejutan yang sama juga dirasakan Darcy Rowe. Mahasiswa Universitas Murdoch di Perth ini mengaku takjub melihat fakta bahwa DMZ adalah salah satu destinasi wisata yang populer di Korea Selatan.

“Ini menarik, melihat konflik namun di saat yang bersamaan anda melihat ada toko suvenir. Ada unsur kontradiktif di sana, tapi itulah kenyataannya,” akunya kepada Nurina Savitri dari ABC yang turut menghadiri MIKTA Young Professional Camp di Seoul.

Csorba lantas menimpali, “Belanja souvenir di DMZ, kedengarannya aneh...ada simbol kapitalisme di tengah perbatasan dengan komunisme.”

Lebih lanjut ia mengatakan, kontradiksi juga bisa dilihat dari kondisi alam yang ada di sana.

“DMZ sejatinya adalah daerah konflik tapi lihat saja alam di sini, sungguh menakjubkan, hijau dan penuh sawah” sebutnya.

Bagi Csorba dan Rowe, kondisi sosial dan alam di DMZ membuatnya sebagai tempat yang unik. Kesan serupa juga ditangkap oleh pemuda Australia lainnya, Iain Henry.

“Tak ada tempat lain di dunia yang seperti ini, ini adalah zona perbatasan paling unik di dunia. Mengapa? Karena DMZ adalah simbol mimpi buruk perang dan sudah 62 tahun gencatan senjata berlangsung, kita masih melihat adanya kebencian, sungguh disayangkan,” katanya.

Menurut pria yang mempelajari sejarah dan budaya Korea ini, aroma kebencian paling nyata bisa dilihat dari ketegangan situasi di sana. “Suasananya ganjil, melihat sikap para penjaga di sana menurut saya juga ganjil,” utaranya.

Rowe pun mengamini perkataan rekannya tersebut, seraya menunjuk bahwa kebencian di antara pihak Utara dan Selatan bisa dilihat dari interaksi para penjaga di DMZ.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com