Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik di Arab, Teologi di Indonesia

Kompas.com - 01/06/2015, 15:15 WIB


Oleh: Hajriyanto Y Thohari

JAKARTA, KOMPAS - Pergolakan politik di dunia Arab akhir-akhir ini menjadi wacana yang sangat serius di Indonesia. Diskusi-diskusi yang semula memperdebatkan politik Arab an sich ada tendensi merembet ke teologi dan sektarianisme.

Akan tetapi, kecenderungan yang terakhir ini, menurut pengamatan saya, lebih diakibatkan oleh reduksi dan simplifikasi akibat kegagalan orang Indonesia membaca perpolitikan Arab yang rumit. Saking rumitnya, saya sering mengakhiri diskusi dengan berseloroh: bahwa kesulitan membaca politik Arab itu gara-gara beda konsep politik.

Berbeda dengan bahasa Indonesia yang menerjemahkan kata 'politic' dengan 'politik', orang Arab menerjemahkan kata 'politic' dengan 'siyasah (t)' (nakirah, indifinite article) atau 'al-siyasah' (bentuk ma'rifah, difinite article). Dalam kitab-kitab al-Munjid dan Lisanu 'l-'Arab, kata siyasah berakar sAsa-yasUsu-siyasatan yang -seperti dalam contoh kalimat-sasa al-dawaba yasusuha siyasatan berarti qama 'alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya) atau sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi perkara).

Sampai di sini tidak ada masalah. Hanya saja ketika kata Arab siyasah(t) masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi 'siasat' yang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya antara lain politik (muslihat, taktik, tindakan, kebijakan, atau akal) untuk mencapai suatu maksud, maka konotasinya menjadi lain.

Pasalnya, siasat juga berarti muslihat dan cara berperang bagaimana mengalahkan lawan. Dalam klasik Melayu siasat malah berarti siksa, aniaya, hukuman. Kata kerja menyiasat artinya menyiksa, menganiaya, atau menghukum (KBBI hlm 1300).

Pantas kita orang Indonesia sering luput dalam memahami politik dunia Arab yang terus bergolak itu. Pasalnya, seperti kata akademisi terkemuka Inggris keturunan Lebanon, Albert Hourani dalam Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (1962), orang Arab memiliki kesadaran lebih tinggi terhadap bahasa mereka dibandingkan dengan bangsa lain. Mereka bukan hanya memandang bahasa Arab sebagai alat komunikasi, melainkan juga seni tertinggi dan sekaligus kriteria mereka mendefinisikan diri dan lingkungannya.

Dulu jernih kini keruh

Ketika perang Irak-Iran (1980-1988) kita bangsa Indonesia rasanya bersikap lebih jernih, dalam pengertian tidak melihat perang tersebut secara sektarian. Padahal, baik rezim Irak pimpinan Presiden Saddam Husein yang Sunni ataupun penguasa baru Iran pimpinan Ayatollah Khomeini yang Syiah keduanya sama-sama melakukan politisasi agama secara habis-habisan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com