Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PM Malaysia Membela Diri terhadap Sejumlah Kritik

Kompas.com - 10/04/2015, 13:50 WIB
KUALA LUMPUR, KOMPAS.com — Perdana Menteri Malaysia Najib Razak membela dirinya terhadap sejumlah kritik pedas atas skandal korupsi dan tindakan keras pada kebebasan sipil. Sejumlah skandal korupsi dan tindakan keras itu telah memicu desakan agar dia mundur.

"Saya dipilih oleh partai saya, dan oleh rakyat negeri ini, untuk memimpin mereka. Karena itu, saya hanya dapat menjawab rakyat, bukan setiap individu," kata Najib dalam sebuah wawancara yang disiarkan stasiun televisi yang dikuasai negara pada Kamis (9/4/2015) larut malam.

Najib telah berada dalam sorotan terkait sebuah perusahaan investasi milik negara yang dia luncurkan kini terperosok dalam utang sebesar 11 miliar dollar dan berbagai tuduhan penipuan serta sejumlah besar uang yang hilang.

Pemerintahannya, yang sudah lama dituduh menggunakan undang-undang keamanan untuk membungkam perbedaan pendapat, minggu ini juga memicu kemarahan karena meloloskan undang-undang anti-terorisme yang memungkinkan pihak berwenang untuk menahan para tersangka tanpa dakwaan.

Pemerintahannya juga mengamandemen undang-undang tentang penghasutan, yang telah digunakan terhadap puluhan pengkritik tahun lalu, untuk memberikan hukuman penjara maksimal 20 tahun, atau naik dari sebelumnya hanya tiga tahun.

"Bertentangan dengan apa yang beberapa orang kira, undang-undang itu tidak akan digunakan terhadap para pengkritik pemerintah," kata Najib tentang undang-undang terorisme, menurut terjemahan bahasa Inggris dari komentarnya yang dikeluarkan kantornya. "Sebaliknya, undang-undang itu akan menjadi alat tambahan untuk menangani ancaman militan yang sedang dihadapi semua negara."

Najib terpaksa merespons kritik itu setelah mantan pemimpin negara itu, Mahathir Mohamad, pekan lalu melancarkan sebuah kampanye untuk menurunkan Najib, yang naik ke kekuasaan tahun 2009 dan menjanjikan pemerintahan yang bersih dan aturan yang lebih lunak. Mahathir menuntut jawaban terkait dana investasi negara di 1Malaysia Development Berhad (1MDB).

Kekhawatiran bahwa 1MDB bisa bangkut telah mengguncang mata uang ringgit.

"Saya mengakui bahwa ada sejumlah pertanyaan seputar 1MDB. Beberapa dari pertanyaan-pertanyaan itu valid, tetapi ada beberapa pertanyaan lain yang tampaknya diarahkan pada perusahaan itu semata-mata dengan maksud untuk menciptakan kontroversi," kata Najib.

Mahathir, 89 tahun, memelopori sebuah kampanye yang sukses untuk menggulingkan pendahulu Najib, Abdullah Ahmad Badawi, tahun 2009. Mantan perdana menteri itu juga memasuki wilayah tabu baru-baru ini dengan mengangkat sebuah skandal masa lalu yang terkait dengan Najib, yaitu pembelian sebuah kapal selam Perancis tahun 2002.

Kesepakatan pembelian kapal itu telah diselimuti tuduhan suap kepada sejumlah pejabat Malaysia dan kasus pembunuhan yang masih gelap tahun 2006 terhadap seorang perempuan Mongolia yang terlibat dalam negosiasi itu. Pembunuhan itu terjadi di tengah kecurigaan bahwa perempuan itu dibunuh untuk membungkamnya tentang kesepakatan itu. Dua pengawal Najib dinyatakan bersalah atas pembunuhan itu dan dijatuhi hukuman mati.

Dalam wawancaranya itu, Najib mengulangi bantahan sebelumnya bahwa ia tidak terkait apa pun dalam pembunuhan itu, atau bahwa dia tahu perempuan itu, Altantuya Shaariibuu.

Najib memimpin koalisi yang berkuasa yang telah memerintah selama 58 tahun.

Para analis politik mengatakan, Najib memegang kendali partai yang berkuasa dan tampaknya untuk saat ini tidak mungkin disingkirkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com