Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/03/2015, 00:20 WIB

KOMPAS.com - Dua terpidana mati warga Australia melakukan upaya terakhir untuk menghentikan eksekusi dengan mengajukan gugatan perlawanan, dan menganggap eksekusi tak bisa dilaksanakan sebelum upaya ini tuntas, kata pengacara mereka, Todung Mulya Lubis.

Myuran Sukumaran, 33, dan Andrew Chan, 31, yang sebelumnya ditahan di penjara Bali, sudah tiba di Penjara Nusakambangan, yang akan menjadi lokasi rencana eksekusi 10 terpidana mati kasus narkotika.

Pengacara Todung Mulya Lubis menekankan eksekusi tidak bisa dilaksanakan karena masih ada proses hukum yang belum selesai, yakni gugatan perlawanan atau verzet terhadap keputusan pengadilan yang menolak gugatan PTUN yang mereka ajukan.

Disebutkannya, pihaknya mengangap penolakan grasi oleh presiden itu cacat, karena tidak menyertakan alasan, dan tidak melalui pertimbangan untuk setiap individu pemohon. Mereka sudah menggugat hal ini di PTUN, namun dikalahkan.

"Tapi undang-undang memberi kami hak 14 hari untuk mengajukan gugatan perlawanan. Nah kami sudah mendaftarkannya di pengadilan, dan kami sedang menunggu jadwal sidangnya," jelas Mulya Lubis.

Pengacara kawakan yang dikenal vokal menyuarakan penentangan terhadap hukuman mati, Frans Hendra Winarta, menyebut bahwa memahami upaya-upaya terakhir yang terus dilakukan para terpidana mati. Kendati menurutnya, untuk penolakan grasi tidak pernah sebelumnya ada upaya hukum gugatan perlawanan ini.

Betapapun, katanya, "langkah itu pantas dicoba."

Menyangkut nyawa

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyebut eksekusi sudah bisa dilaksanakan, karena presiden sudah menolak permophonan grasi. Penolakan grasi berarti seluruh proses hukum lain selesai.

Todung Mulya Lubis sebagai pengacara Myuran Sukumaran dan Andrew Chan tidak membantah.

"Tapi ini kan menyangkut hidup seseorang. Hal yang begitu prinsipil, menyangkut nyawa manusia, maka seharusnya seluruh kemungkinan upaya hukum itu tetap diberikan semaksimal mungkin."

Lebih-lebih, Mulya Lubis menegaskan lagi, Presiden Jokowi tidak mempertimbangkan kasus- per kasus pemohon grasi, dan tidak memberikan alasan penolakan grasi itu.

Presiden Jokowi sejak semula memberi pernyataan akan menolak semua permohonan grasi para terpidana mati kasus narkotika.

Hal ini dipandang pengacara Frans Hendra Winarta sebagai kekeliruan besar Jokowi. Ia sepakat dengan Mulya Lubis bahwa dalam menerima atau menolak permohonan grasi, presiden, dengan mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, meneliti para pemohon satu per satu, dan tidak menggeneralisasi.

Eksekusi terhadap 10 terpidana mati kasus narkotika diyakini akan dilakukan akhir pekan ini, setelah dua terpidana anggota Bali Nine diberangkatkan dari penjara Kerobokan ke Nusakambangan.

Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, penjagaan sekitar Nusakambangan kali ini begitu ketat. Polisi antiteror dan tentara tampak hilir mudik sekitar perairan Nusakambangan.

Eksekusi kali ini memang menemukan dimensi lain, karena kuatnya tekanan pemerintah dan opini publik Australia yang menuntut agar eksekusi mati dibatalkan. Dan ini membuat hubungan bilateral Indonesia dan Australia terganggu belakangan.

Sebelumnya hubungan Indonesia dan Brasil juga dilanda ketegangan, setelah eksekusi terhadap enam terpidana mati beberapa waktu lalu, yang seorang di antaranya adalah warga Brasil. Seorang lagi warga Brasil masuk dalam daftar yang akan dieksekusi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com