Bagi warga Sundarbans, yang hidup di delta sungai besar di pantai utara Teluk Benggala, tiada hewan yang lebih menakutkan ketimbang harimau.
Bahkan menyebut kata harimau pun penduduk desa bisa panik.
Jurnalis BBC, Candida Beveridge, bertanya kepada seorang nelayan setempat soal harimau. Begitu mendengar kata "harimau", dia segera mengemasi kepiting-kepiting dan pergi tanpa sepatah kata pun.
"Jika Anda berbicara tentang harimau, maka hewan itu akan datang," kata tukang perahu yang membawa Beveridge. "Itulah sebabnya."
Hampir semua orang di kawasan itu pernah terpapar oleh serangan harimau dengan berbagai cara.
Air mata
Antara tahun 2006 dan 2008 beberapa orang telah tewas di Joymoni, sebuah desa kecil di tepi Sungai Pasyhur, yang berbatasan dengan hutan.
Dalam salah satu serangan, harimau menerobos dinding bambu sebuah gubuk di tengah malam dan menyambar seorang perempuan berusia 83 tahun.
Anaknya, Krisnopodo Mondol, yang berusia 60-an tahun, mendengar jeritannya.
"Saya membuka pintu dan berlari ke tempat tidur ibu saya, tapi ibu saya tidak ada," katanya.
"Yang saya lihat hanya tempat tidur yang kosong. Saya tidak bisa menemukannya di mana pun. Saya membuka pintu ke beranda dan di bawah sinar bulan saya melihat ibu saya. Dia terluka parah terbaring di tanah, bajunya berserakan di sekelilingnya."
Air mata mengalir di wajah Krisnopodo. Pada satu titik dia begitu diliputi kesedihan, dia tidak bisa bicara.
Dia mengambil foto ibunya dari dinding dan memandanginya dengan rasa tidak percaya. Dia lalu melanjutkan.
"Harimau itu menyerang ibu saya di sisi kiri kepalanya. Tengkoraknya rusak. Dia masih bernapas, tetapi tak sadarkan diri." Tak lama kemudian dia meninggal.