Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengalaman Achmad Taufik Lulus Beasiswa ke Australia

Kompas.com - 29/09/2014, 11:10 WIB
KOMPAS.COM - Sekolah ke luar negeri dengan beasiswa biasanya banyak ditalikan dengan mereka yang berprestasi baik di sekolah. Namun tidak demikian dengan Achmad Taufik yang sekarang menempuh pendidikan S2 di Universitas Wollongong, Australia. Kegagalan menjadi motivasi baginya untuk bisa berhasil.

Saya gagal memasukkan bola lebih dari 9000 kali dalam karir saya. Kalah hampir 300 pertandingan, dalam 26 pertandingan saya dipercayai untuk mencetak gol untuk memenangkan pertandingan namun gagal. Saya gagal berulangkali. Dan itulah mengapa saya berhasil.  (Michael Jordan)

Karena merasa sering gagal dan gagal lagi, sejak lama saya menyukai kata-kata mutiara yang menghubung-hubungkan kesuksesan dan kegagalan seperti di atas. Percaya atau tidak, rasanya seperti menemukan harta karun apabila menemukan kata-kata bijak seperti itu, “Hmm…, masih ada harapan ”, begitu kurang lebih dalam benak saya.

Meski tidak sehebat kisah tokoh-tokoh besar yang ada di buku-buku motivasi, saya ingin bercerita tentang kisah kegagalan saya yang kemudian ternyata menjadi keberhasilan. Blessing in disguise, katanya. Alhamdulillah, sejak awal 2013 saya dapat kuliah S2 gratis di Australia karena memperoleh beasiswa SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening the Reforming Institution) yang didanai oleh World Bank.

Pada umumnya orang menduga yang hebat-hebat mengenai penerima beasiswa: Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, aktif berorganisasi dan segudang prestasi lainnya. Lalu, apakah saya demikian?

Dari SD sampai SMP prestasi sekolah saya biasa-biasa saja. Karena cenderung pemalu, saya juga tidak aktif berorganisasi, OSIS tidak, Pramuka pun nggak. Nilai Ebtanas Murni (NEM) SMP yang pas-pasan kemudian membuat saya kena getahnya. Meski nilai saya cuma kurang nol koma, tahun 1987 saya gagal diterima di SMA Negeri 1 Purbalingga yang waktu itu merupakan satu-satunya SMA negeri di kota kelahiran saya. Pahit rasanya.

Merasa ditolak dan terpaksa berpisah dengan seorang sahabat yang sejak TK sampai dengan SMP selalu bersama. Saya pun kemudian harus mencari sekolah pengganti. Melihat tetangga saya yang sekolah di SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) membawa buku teks tebal berjudul “Pengantar Bisnis”, saya menjadi tertarik. “Wow, keren..!”, pikir saya. Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung mendaftar ke sekolah kejuruan tersebut.

Perjalanan saya di SMEA Negeri Purbalingga, yang diawali kekecewaan dan pesona buku tebal,  penuh dengan gelombang, naik dan turun.  Meski di semester pertama kelas satu saya masuk peringkat lima besar dan hampir tidak pernah absen, di semester selanjutnya ranking saya terus merosot dan absensi saya terus menanjak.

Rupanya saya belum bisa menerima kegagalan. Saya mungkin terlalu bangga dengan sekolah sebelumnya, SMP Negeri 1 Purbalingga, sekolah favorit yang sebagian besar lulusannya masuk SMA Negeri 1 Purbalingga.

Saya merasa minder tidak diterima di sekolah umum dan terpaksa melanjutkan di sekolah kejuruan sehingga saya pun tidak semangat untuk bersekolah. Datang ke sekolah di detik-detik terakhir menjelang pintu gerbang ditutup pun kemudian menjadi kebiasaan. Terlambat masuk sekolah, lalu membelokkan sepeda untuk sekedar nongkrong sendiri menjadi ‘filosof’ di terminal bus juga jadi langganan.

Saat kelas dua semester satu, peringkat saya jatuh ke posisi 29 dan total absensi meroket menjadi lebih dari 20 hari.

Karena kebiasaan bolos terus berlanjut, akhirnya ibu saya mendapat surat panggilan untuk bersama saya menghadap guru BP (Bimbingan Penyuluhan) di sekolah. Di depan ibu saya, guru BP mengancam, “Fik, kalau kamu bolos lagi, kamu tidak naik kelas!”, tegasnya  sambil menyodorkan surat peringatan. Rupanya ancaman beliau kali ini salah alamat. Saya bukanlah murid yang takut apabila diancam tidak naik kelas. “Dikira takut tidak naik kelas?!” dalam hati saya menantang.

Puncaknya pada saat ujian kenaikan kelas dua, saya melaksanakan tantangan itu. Bukan guru yang membuat saya tidak naik, tapi saya sendiri yang memutuskan untuk tidak naik kelas. Begitu sikap saya. Saya pun minta ijin ke ibu, “Bu, saya tidak akan ikut ujian. Percuma saya naik kelas, tapi nilainya asal-asalan. Saya janji nanti  tidak mengulangi lagi, nanti saya akan lebih rajin.”  Ibu percaya dengan janji saya dan beliau mengijinkan.  Saya ‘harakiri’ (‘bunuh diri’) tidak naik ke kelas tiga.

Hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan adalah saatnya pembagian kelas. Semua tampak bersuka cita, kecuali saya. Dengan sungkan saya mendekati teman-teman lama eks-kelas dua. Baru mengobrol sebentar, saya ditinggal sendirian karena mereka berhamburan mencari ruang kelas mereka yang baru di kelas tiga.

Saya lalu mencoba berkenalan dengan beberapa adik kelas satu yang naik ke kelas dua dan kembali saya ditinggal karena mereka pun mencari ruang kelas mereka yang baru. Dengan malas, saya pun mengikuti dari belakang. Di daftar murid kelas dua manapun nama saya tidak ditemukan. Untuk sementara, pagi itu saya pun menjadi ‘gelandangan’, tidak punya ruang kelas. Setelah lapor ke ruang tata usaha, barulah saya ditunjuk untuk kembali ke ruang kelas dua yang lama dengan teman-teman yang baru, para mantan adik kelas.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com