Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Pembuka Pintu Gerbang Dunia bagi Korea

Kompas.com - 23/09/2014, 00:21 WIB
Budi Suwarna,
Hamzirwan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tiga perhelatan olahraga kasta tertinggi di dunia, yakni Asian Games, Olimpiade, dan Piala Dunia sepak bola, telah digelar Korea Selatan. Namun, di antara semuanya, Olimpiade Seoul 1988 menjadi penanda penting masuknya ”Negeri Ginseng” itu ke zaman baru.

Akhir pekan di kawasan Jamsil, Seoul, Korea Selatan, awal September. Wartawan Kompas Budi Suwarna dan Hamzirwan larut dalam arus ribuan orang yang bergegas keluar dari stasiun kereta bawah tanah.

Orang-orang itu menenteng bir dan kudapan ayam goreng—sepasang menu yang di Korsel disebut chimac. Mereka langsung menuju Stadion Bisbol Jamsil untuk menonton laga tim kesayangan. Dari dalam stadion, sorak sorai penonton memekakkan telinga, bergemuruh laksana dengung sayap jutaan lebah.

Sekitar 300 meter dari lokasi pertandingan bisbol, berdiri Stadion Olimpiade Jamsil yang kesepian. Kontras dengan keramaian di Stadion Bisbol, hanya ada satu-dua orang yang lewat setiap 10 menit di sekitar Stadion Olimpiade Jamsil. Belakangan ini, stadion tersebut lebih sering digunakan untuk konser daripada ajang olahraga.

Meski begitu, sejarah penting yang bersemayam di stadion itu tak mungkin dilupakan. Di situlah 26 tahun lalu, bangsa Korsel, yang masih berada di bawah mimpi buruk perang saudara, mampu menyelenggarakan pesta multicabang olahraga terbesar di dunia.

Cara Korea menyikapi Olimpiade 1988

Pesta olahraga itu dipersiapkan sedemikian rupa, jauh sebelum hari penyelenggaraan. Pemerintah mengerahkan dana untuk membangun infrastruktur, mulai dari gelanggang olahraga, jalan-jalan, hingga beberapa jembatan di atas Sungai Han. Jumlahnya fantastis untuk ukuran saat itu, yakni 3,1 miliar dollar AS atau Rp 5,27 triliun (Kompas, 18/9/1988).

Pemerintah juga memobilisasi jutaan warga—mulai anak- anak hingga manula, pekerja hingga pengusaha—untuk menyukseskan Olimpiade. Seorang di antara mereka adalah Louis Go (39), pengusaha Korsel di Indonesia, yang ketika Olimpiade digelar masih bocah.

Go ingat benar bagaimana pemerintah mengingatkan masyarakat jauh-jauh hari bahwa Korsel akan jadi tuan rumah Olimpiade. ”Saat ujian sekolah, hampir selalu ada pertanyaan, ’kapan Olimpiade Seoul dibuka?’ Saking seringnya mendapat pertanyaan itu sampai sekarang saya ingat jawabannya: 17 September 1988,” kenang Go.

Guru juga mengajarkan murid-muridnya gerakan-gerakan senam atau tari untuk menyambut tamu-tamu negara. ”Waktu kontingen negara lain datang, kami ada di sisi jalan melambaikan tangan.”

Di permukiman, lanjut Go, orang berlomba-lomba membersihkan jalan dan lingkungan. ”Kami benar-benar antusias menyambut Olimpiade.”

Anak-anak muda yang sedang menjalani wajib militer juga diberi peran. Lee Kang-hyun, yang kini menjabat Presiden Korean Chamber of Comerce in Indonesia (Kocham, semacam kamar dagang Korsel di Indonesia), ingat saat wajib militer ia diberi tugas sebagai petugas komunikasi yang keliling dari arena ke arena.

”Meski perannya kecil, semua orang bangga bisa membantu penyelenggaraan Olimpiade,” ujar Lee.

Rasa bangga juga membuncah di dada Heeh Yung-yoo (66), mantan atlet basket tim nasional Korsel di Olimpiade 1968. Saat Olimpiade 1988 digelar, ia bertugas sebagai ofisial tim basket nasional.

”Saya terharu, semua lapisan masyarakat bersatu padu menjaga keamanan dan kenyamanan. Bahkan, para penjahat pun saat itu berjanji tidak mengganggu para peserta,” kata Yung-yoo setengah berkelakar.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com