Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Staf MSF Asal Indonesia di Tengah "Perang" Melawan Ebola

Kompas.com - 24/08/2014, 06:26 WIB
Wabah ebola yang menghantam sejumlah negara di Afrika barat telah menewaskan setidaknya 2.000 orang. Begitu dahsyatnya wabah ebola ini hingga banyak lembaga dan negara yang mengirimkan bantuan ke Afrika barat untuk membantu "perang" melawan ebola ini. Salah seorang yang mempertaruhkan keselamatannya demi membantu korban ebola adalah Pratiwi Sutowo, seorang staf lembaga amal Medecins Sans Frontieres (MSF), asal Indonesia. Berikut catatan Pratiwi dari Sierra Leone.

FREETOWN, KOMPAS.com - Tenda-tenda putih berderet di tanah lapang. Pada setiap pintu, tersedia ember berisi cairan klorin untuk mencuci tangan. Semua orang yang keluar masuk tempat ini harus mencuci tangan dan kaki mereka dengan cairan klorin. Petugas medis lalu-lalang, namun wajah mereka tak terlihat. Seluruh tubuh harus ditutup pakaian pelindung demi mencegah terjangkiti Ebola.

Saat ini saya ditugaskan Dokter Lintas Batas (MSF) ke distrik Kailahun, di bagian timur Sierra Leone. Jaraknya 8,5 jam perjalanan darat dari ibu kota Freetown. Jalan dari Freetown ke distrik Bo cukup baik, namun begitu tiba di distrik Kailahun, hanya ada jalan tanah berlumpur di musim hujan seperti saat ini.

Saya bertugas di bidang administrasi untuk proyek Ebola. Ada banyak sekali staf MSF yang terlibat dalam penanganan wabah, dan saya bertugas mengurus perjalanan seluruh staf internasional.

Penerbangan adalah masalah besar baru-baru ini, karena sejumlah maskapai yang mengubah atau menghentikan rutenya dari Freetown ke Eropa karena wabah Ebola. Saat ini terdapat 29 staf internasional dan 297 staf nasional di Kailahun. Selain itu, ada 300 petugas klinis dan 30 staf Kementerian Kesehatan yang bekerja dengan insentif dari kami.

Kesibukan utama saya adalah membayar para staf nasional, karena 297 orang ini dibayar tunai setiap pekan. Meskipun saya sibuk, tugas saya tidak sebanding dengan apa yang dihadapi tim medis, logistik, dan sanitasi. Merekalah yang berada di pusat perawatan Ebola setiap waktu, memastikan semua staf menaati peraturan kebersihan dan sanitasi demi keselamatan semua orang.

Sebagai staf non-medis, saya sangat kagum melihat betapa ketatnya prosedur pengendalian penularan penyakit di pusat perawatan MSF. Semua yang bekerja di sana memiliki tugas sanitasi dan kebersihan yang sangat spesifik: ada yang khusus ditugaskan untuk menyemprot cairan klorin, membakar pakaian pelindung yang hanya sekali pakai, ada yang menyambut pasien di meja registrasi. Ketika masuk ke bangsal Ebola, tidak satu sentimeter-pun kulit di tubuh ini yang dibiarkan terbuka tanpa penutup.

Di Kailahun, kami mendengar pasien meninggal hampir setiap hari. Rekan-rekan saya di tim medis dan sanitasi bekerja ekstra keras setiap harinya untuk menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin. Beban kerja mereka sangat tinggi, ada yang bekerja 14 jam sehari. Ada pula rekan saya yang tidak sanggup dan minta pulang lebih awal ke negaranya.

Meski saya tidak bekerja langsung dengan pasien, saya sangat tersentuh mendengar kisah-kisah yang saya dengar dari rekan-rekan saya setiap kami mengadakan rapat tim. Suatu kali, ada seorang ibu yang datang membawa bayinya. Ibu itu meninggal beberapa hari kemudian, dan bayinya dirawat keluarga pasien lain yang bersedia.

Risiko memang selalu ada ketika bekerja di wabah Ebola, namun seluruh staf MSF selalu menggunakan perlengkapan pelindung dan menaati protokol yang sangat ketat yang mengurangi risiko-risiko tersebut. Hingga kini, tidak ada staf MSF yang tertular. Namun sayangnya, tidak semua petugas kesehatan bekerja dalam kondisi yang sama. Banyak perawat dan dokter yang bekerja dengan Kementerian Kesehatan telah tertular dan meninggal.

Saya juga mendengar ada organisasi bantuan yang pergi karena tidak ingin mengambil risiko bagi para stafnya. Namun MSF tetap bertahan. Rasanya, ini benar-benar "cinta di masa Ebola". Saya melihat MSF berada di sini tidak hanya untuk memenuhi mandat kemanusiaan organisasi, tetapi juga sebagai individu-individu yang memegang idealismenya untuk membantu mereka yang kurang beruntung dan dikucilkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com