Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prof Emmerson: Jokowi Lebih Menjanjikan daripada Prabowo

Kompas.com - 24/07/2014, 10:14 WIB
KOMPAS.com — Profesor Donald K Emmerson adalah Direktur Forum Asia Tenggara di Shorenstein Asia dan seorang profesor di Stanford University, AS. Dia optimistis melihat kondisi politik di Indonesia. Berikut ini merupakan wawancara VOA (Voice of America) dengan Prof Emmerson terkait pelaksanaan Pilpres 2014, terpilihnya Joko Widodo, serta peluang dan tantangan Joko Widodo nanti sebagai presiden.

Rakyat Indonesia kelihatan semakin percaya diri dan dewasa mengikuti pilpres langsung tahun ini, tetapi ada suatu fenomena baru yang terjadi, yaitu sikap Prabowo Subianto, salah satu calon presiden, yang menolak hasil rekapitulasi pemilu dan menarik diri dari proses pemilu hanya beberapa jam sebelum hasilnya diumumkan. Melihat kedua hal itu, bagaimana Anda melihat pelaksanaan demokrasi di Indonesia?

Saya seorang yang sangat optimistis melihat kondisi politik di Indonesia meski ada kontroversi dan ketegangan yang terjadi terkait sikap Prabowo Subianto yang menolak hasil pemilu karena menilai telah dicurangi. Saya mempertaruhkan penilaian saya, tetapi memang ada indikasi kuat bahwa Jokowi akan tetap dilantik sebagai presiden berikutnya dan Prabowo Subianto akan terisolasi jika tetap berkeras menolak hasil pemilu. Saya tetap yakin Jokowi tetap memiliki legitimasi sebagai pemenang pemilu yang jujur dan adil meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa melihat luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya pemilih, hampir tidak mungkin pemilu berlangsung 100 persen secara jujur dan adil. Namun, melihat selisih suara di antara Jokowi dan Prabowo sekitar 8 juta suara, sulit membayangkan bahwa 8 juta suara itu merupakan hasil rekayasa atau dicurangi.

Namun, saya juga ingin melihat pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam jangka waktu yang lebih panjang, bukan sekadar berdasarkan pemilu kali ini saja. Ada penilaian bahwa demokrasi dianggap berhasil jika sudah menjadi satu-satunya aturan main di negara tersebut atau bahasa yang suka saya pakai adalah "the only game in town". Tentu saja maksudnya ini lebih dari sekadar "permainan" atau "aturan". Namun, dengan kata lain, tidak ada alternatif yang punya legitimasi di negara tersebut, dalam hal ini Indonesia, selain demokrasi.

Melihat konteks itu, menarik mencermati pidato-pidato Prabowo Subianto semasa kampanye yang menunjukkan bahwa dia tidak suka pada pemilu langsung, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat nasional. Ini bisa diterjemahkan bahwa Prabowo tidak punya komitmen pada demokrasi.

Jadi, ada baiknya dia tidak terpilih sebagai presiden baru Indonesia karena bisa-bisa dia justru membuat demokrasi mundur. Namun, kembali ke pertanyaan awal soal "apakah demokrasi sudah menjadi satu-satunya aturan permainan di Indonesia dan apakah sudah diinstitusionalisasikan", maka ada sejumlah kriteria yang bisa dijadikan ukuran.

Salah satu di antaranya adalah sudah berapa banyak pemilu yang diselenggarakan. Awal tahun ini Indonesia menyelenggarakan pemilu langsung keempat, yaitu pemilu legislatif dan disusul dengan pemilu presiden langsung ketiga pada tanggal 9 Juli lalu. Memang belum ada batas perolehan suara (threshold) yang ditetapkan untuk menunjukkan "wah memang demokrasi sudah dilembagakan di Indonesia," tetapi pertambahan jumlah pemilih setiap tahun ini menunjukkan bahwa demokrasi memang mulai menjadi kisah sukses di Indonesia. Demokrasi menjadi cara efektif serah terima kekuasaan secara damai dalam sistem politik.

Kriteria kedua adalah transparansi. Dalam hal ini kita patut memuji rakyat Indonesia, termasuk pemilih-pemilih muda, yang sudah semakin dewasa. Bahkan, dalam pemilu kali ini mereka menggunakan teknologi lewat berbagai media sosial, quick count, exit poll, dll. Untuk menghindari terjadinya kecurangan dan pelanggaran pemilu, mereka tidak segan-segan melakukan cek dan recheck lewat berbagai media sosial tadi. Ini suatu hal yang menggembirakan terlebih melihat semangat kaum muda Indonesia yang kelak mewarisi masa depan Indonesia.

Kriteria ketiga adalah legitimasi dan ini sangat penting. Indonesia cukup beruntung karena dalam dua pilpres langsung sebelumnya, Yudhoyono memenangkan pemilu secara mutlak dengan selisih suara sangat besar, baik di Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009. Sulit mempersoalkan selisih suara yang sangat besar yang diraih Yudhoyono. Hal ini membantu mempersiapkan rakyat Indonesia menghadapi perolehan selisih suara Jokowi yang lebih sedikit. Perolehan suara Jokowi yang 53 persen dengan Prabowo yang 47 persen, jadi ada selisih suara 6 persen, tetapi merupakan hal yang substansial. Namun, tetap memicu pertanyaan soal apakah Prabowo akan berhasil mempersoalkan selisih suara tersebut ke pengadilan dan akankah hal ini memicu terjadinya aksi kekerasan.

Kita sama-sama tahu Indonesia sudah mengalami banyak pengalaman dengan terjadinya beragam aksi kekerasan. Saya bahkan baru saja berbicara dengan beberapa teman yang baru kembali dari Indonesia. Mereka mengatakan menemui banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang bersiap menuju ke Singapura, Hongkong, atau negara-negara dekat lainnya karena khawatir terjadinya aksi kekerasan bernuansa ras pasca-pemilu. Ini sangat miris meskipun hingga saat wawancara ini terbukti tidak terjadi aksi kekerasan apa pun di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kekhawatiran itu tidak terbukti, menunjukkan bahwa rakyat Indonesia sudah dewasa dan menunjukkan keabsahan hasil pemilu.

Jika ketiga kriteria itu dinilai sudah terpenuhi, dapatkah dikatakan demokrasi Indonesia sudah berhasil?

Nah itu dia. Demokrasi baru dinilai benar-benar berhasil jika berhasil membuktikan kepada para peserta demokrasi, dalam hal ini rakyat Indonesia, bahwa hasil demokrasi itu manjur bagi mereka. Bahwa tokoh atau pemerintahan yang dihasilkan dari proses demokrasi itu benar-benar kompeten. Ini masih harus diuji karena Jokowi juga baru saja terpilih.

Jokowi memang belum membuktikan kompetensinya, tetapi setidaknya rakyat Indonesia telah membuktikan bahwa mereka lebih dewasa dalam berdemokrasi dibanding elite politiknya, bukan?

Ha-ha-ha… Penggambaran yang Anda sampaikan cukup baik. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah elite politik terlibat dalam korupsi, manipulasi, ada yang mengklaim bahwa Indonesia adalah negara oligarki yang tidak bisa melakukan reformasi, negara yang hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang korup, dan jika kemudian kita melihat beberapa elite politik tertentu yang keluar masuk dalam kabinet pemerintahan selama ini, memang benar yang Anda katakan.

Namun, Anda juga harus mengetahui bahwa Jokowi berasal dari latar belakang yang sama sekali berbeda. Dia adalah satu-satunya presiden di Indonesia yang latar belakangnya berasal dari dunia bisnis. Ia memang pernah menjadi Wali Kota Solo dan kemudian Gubernur Jakarta, tetapi pada dasarnya dia adalah pebisnis. Dia seorang eksportir mebel dari Solo. Dia berasal dari luar lingkaran elite yang korup. Rakyat Indonesia tampaknya tahu betul bahwa jika mereka memang ingin melakukan reformasi secara serius, terutama reformasi ekonomi yang memang luar biasa penting, maka sangat rasional untuk tidak memilih seseorang yang pernah duduk di lingkaran kekuasaan, tetapi memilih seseorang yang benar-benar berasal dari luar sistem.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com