KOMPAS.com
- Bencana topan Haiyan yang melanda Filipina, 8 November lalu, tak hanya merenggut ribuan jiwa, tetapi juga memaksa ratusan ribu keluarga mengungsi ke sejumlah titik evakuasi atau eksodus ke luar pulau. Dahsyatnya topan itu membuat hampir semua stasiun televisi dan surat kabar di dunia memberitakannya.

Berita amukan supertopan ini pun merisaukan para perantau asal Filipina. Tak heran, di saat sebagian warga di lokasi bencana masih mengungsi, mereka yang bekerja di luar negeri justru ingin kembali ke tanah kelahiran untuk mengetahui kondisi keluarga dan kampung halaman yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan.

Seperti dilakukan Bienvenido Arendayen (49), pegawai swasta di Singapura yang sudah 20 tahun meninggalkan Filipina. Arendayen mengajak dua putra dan istrinya yang berkewarganegaraan Singapura untuk pulang kampung ke Pulau Biliran, menengok kondisi orangtuanya pasca-terjangan Haiyan.

Pada 8 November silam, begitu mengetahui berita soal topan Haiyan (di Filipina disebut Yolanda) di televisi Singapura, Arendayen segera mengontak telepon seluler orangtuanya. Namun, selama tiga hari, mereka tak dapat dihubungi.

”Saya tak bisa konsentrasi bekerja dan tidur nyenyak selama tiga hari saat itu,” ujar Arendayen, saat ditemui di Pelabuhan Ormoc, Provinsi Leyte, Sabtu (7/12). Kapal yang ditumpangi Arendayen dan keluarganya baru tiba di Ormoc dari Cebu.

Tak dapat menghubungi lewat telepon, Arendayen mencari informasi dengan memantau Facebook dan Twitter dari akun teman-teman lamanya di Biliran. Namun, dia justru tambah khawatir karena beberapa tetangganya dikabarkan meninggal dan hilang tersapu topan.

Baru setelah hari keempat, Arendayen bisa bernapas lega ketika dikabari adiknya bahwa orangtua mereka baik-baik saja karena berhasil dievakuasi ke luar desa. Hanya atap rumah mereka yang hilang.

Selama ini, orangtua mereka hanya tinggal berdua karena dia ada di Singapura dan adiknya bekerja di Manila. Arendayen pun terakhir menengok ayah-ibunya dua tahun lalu.

”Harusnya, baru tahun depan saya pulang kampung mengajak keluarga. Namun, begitu tahu ada Yolanda, kami mempercepat perjalanan ini,” kata Arendayen.

Kerisauan sama juga dialami Christopher Tadefa (32), yang bekerja sebagai pelaut. Saat Haiyan melanda Filipina, Tadefa sedang berada di Korea Selatan. Begitu topan itu diberitakan, Tadefa tak dapat menghubungi orangtuanya yang tinggal di kota Carigara, Provinsi Leyte, selama lima hari berikutnya.

Tadefa baru dapat tidur nyenyak begitu mendapat kabar dari sepupunya lewat obrolan di internet. ”Saya diberi tahu kalau orangtua saya selamat. Hanya rumah mereka rusak diterjang angin,” kata lelaki yang sudah tiga tahun tidak pulang kampung itu.

Saat kapal kargo tempatnya bekerja bersandar di Thailand, Tadefa meminta izin kepada atasannya untuk pulang kampung ke Carigara. Ayah dan ibunya hanya tinggal berdua karena kedua kakak Tadefa bekerja dan tinggal di Manila.

Tadefa pun berencana membawa orangtuanya ke Manila. ”Ayah saya berusia 75 tahun, sedangkan ibu saya 72 tahun. Di Manila, mereka bisa tinggal dengan kakak saya atau bibi. Saya khawatir jika mereka tetap di Carigara,” ucap Tadefa dengan mata berkaca-kaca.

Kegusaran Arendayen dan Tadefa beralasan karena kawasan Visayas Timur yang meliputi Pulau Leyte, Samar, dan Biliran merupakan daerah terparah dilanda topan Haiyan.

Meskipun kini tak lagi gelisah, Arendayen dan Tadefa tetap tidak sabar untuk tiba di kampung dan bertemu orangtua masing-masing. Kondisi ini mereka syukuri karena sebagian perantau lainnya harus kehilangan keluarga dan saudara yang dicintai akibat bencana tersebut.

Senyum syukur itu masih tersungging saat mereka bergegas meninggalkan Pelabuhan Ormoc.

(HARRY SUSILO dari Ormoc, Filipina)