Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/11/2013, 07:58 WIB

KOMPAS.com - Mereka lolos dari kematian yang dibawa topan Haiyan di Filipina timur dan tengah, Jumat pekan lalu. Namun, derita mereka baru dimulai.

Hari Minggu (10/11), banyak dari warga yang selamat dari ”supertopan” itu mengais-ngais mencari makanan di antara puing-puing bangunan dengan jenazah-jenazah bergelimpangan di sekitarnya. Sebagian yang lain terpaksa menjarah toko-toko, mal, pompa bensin, bahkan konvoi bantuan.

Dua hari setelah salah satu badai terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah memorakporandakan kota-kota di bagian Filipina itu, taktik bertahan hidup menciptakan kenyataan bagai kisah horor.

Di pinggiran Tacloban, Provinsi Leyte, sebuah kota di bagian timur negara itu, dengan penduduk 220.000 jiwa yang luluh lantak diterjang gelombang bagai tsunami, Edward Gualberto secara tak sengaja menginjak jenazah-jenazah yang berserakan saat dia mengais-ngais di reruntuhan sebuah rumah.

Dengan hanya mengenakan celana basket warna merah, ayah empat anak yang anggota dewan desa itu meminta maaf atas penampilannya yang lusuh dan karena mencuri dari orang mati.

”Saya orang baik. Tetapi kalau Anda tidak makan selama tiga hari, Anda akan melakukan hal-hal yang memalukan untuk bertahan hidup,” kata Gualberto kepada kantor berita Agence France-Presse (AFP) saat dia mengais-ngais makanan kaleng dari puing-puing, di tengah lalat yang mengerumuni jasad orang-orang mati di sekitarnya.

”Kami tak punya makanan. Kami memerlukan air dan hal-hal lain untuk bertahan hidup,” ujarnya mengiba.

Setelah bekerja keras setengah hari, dia telah mengisi sebuah kantong dengan berbagai kebutuhan, seperti beberapa kotak spageti, sejumlah kaleng bir, detergen, sabun, dan biskuit.

”Topan ini telah merenggut martabat kami..., tetapi saya masih mempunyai keluarga saya dan saya bersyukur untuk itu,” katanya.

Saat para petugas penyelamat berjuang untuk mencapai desa-desa sepanjang pesisir, mereka yang selamat mengais-ngais makanan atau mencari kerabat mereka yang hilang.

”Orang-orang berjalan bagaikan zombi, mayat hidup, mencari makanan,” kata Jenny Chu, seorang mahasiswa kedokteran di Leyte. ”Ini seperti film.”

Tacloban terletak dekat Red Beach di Pulau Leyte, tempat Jenderal Amerika Serikat Douglas MacArthur mendarat tahun 1944 pada akhir Perang Dunia II dan memenuhi janjinya yang terkenal, ”I shall return (Saya akan kembali).”

Itu merupakan kota pertama yang dibebaskan dari tentara Jepang oleh pasukan gabungan AS dan Filipina dan pernah menjadi ibu kota sementara Filipina selama beberapa bulan setelah itu. Tacloban juga kota asal mantan ibu negara Filipina, Imelda Marcos. Keponakan Imelda, Alfred Romualdez, kini menjadi Wali Kota Tacloban.

Seorang warga Tacloban mengatakan, dia dan sejumlah orang mencari perlindungan di dalam sebuah mobil jip saat badai datang. Namun, kendaraan itu dengan mudah tersapu gelombang tinggi air yang datang menerjang. ”Airnya sampai setinggi pohon kelapa,” kata Sandy Torotoro, seorang tukang ojek sepeda yang tinggal dekat Bandara Tacloban dengan istri dan putri mereka yang berusia 8 tahun.

”Saya keluar dari jip itu dan saya tersapu arus air dengan batang-batang kayu, pohon, dan rumah kami, yang tercerabut. Ketika kami tersapu air, banyak orang hanyut dan mengangkat tangan berteriak minta tolong. Kami bisa apa? Kami juga perlu ditolong,” kata Torotoro.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com