Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bom Boston dan Aksi akibat Ledakan Keputusasaan

Kompas.com - 22/08/2013, 08:18 WIB
Oleh: Anton Sanjoyo

SAMPAI detik ini, latar belakang dan alasan Tsarnaev bersaudara, Tamerlan (26) dan Dzhokhar (19), melakukan teror bom di garis finis Maraton Boston sesungguhnya masih misteri.

Para pejabat pertahanan dan intelijen Amerika Serikat (AS) memang telah berhasil mendapatkan sejumlah titik terang tentang radikalisme dua bersaudara keturunan etnis Chechen tersebut. Meski begitu, apa dorongan terkuat dari dua anak muda berwajah ganteng itu untuk melakukan perbuatan keji terhadap sesama masih tetap
diselimuti misteri.

Pihak keamanan AS sejauh ini hanya bisa menggali informasi dari Dzhokhar. Itu pun sangat terbatas karena pemuda berwajah bayi ini hanya memberikan keterangan itu-itu saja kepada penyidik. Sementara Tamerlan sudah tidak bisa diinterogasi karena tewas dalam pengejaran, beberapa hari setelah ledakan bom.

Usaha pihak berwenang AS dan sejumlah media menggali informasi sampai ke Dagestan, Rusia, untuk bertemu dengan kedua orangtua Tamerlan dan Dzhokhar pun tak mendapat
banyak hasil. Sekadar terungkap, sang ayah, Anzor Tsarnaev, tidak pernah percaya kedua anaknya adalah teroris.

Sementara sang ibu, Zubeidat, berkali-kali mengatakan, AS telah membunuh anaknya secara keji. Namun, dari sang ibu pula, para penyidik mendapat sedikit titik terang. Dari ibu yang murka inilah tampaknya ada benih-benih radikalisme yang tertanam.

Sebuah laporan intelijen Rusia mengungkap, mereka menyadap pembicaraan telepon antara Tamerlan dan Zubeidat yang mendiskusikan jihad.

Pengaruh Tamerlan

Dalam pengakuannya dan kesaksian beberapa rekan dekatnya, Dzhokhar yang sebenarnya anak baik-baik, bergaul dan sangat terpengaruh gaya hidup anak muda Amerika yang gemar pesta, sangat dipengaruhi kakaknya. Beberapa kawan sekampus Dzhokhar bahkan mengaku sangat terkejut karena sama sekali tidak menyangka si wajah bayi penerima beasiswa dari Universitas Boston itu merupakan pelaku pengeboman. Satu-satunya yang mereka percaya adalah
Dzhokhar telah dipengaruhi sang kakak.

Sementara Tamerlan merupakan ayah satu anak yang putus asa dengan masa depannya. Dia punya bakat yang luar biasa dalam olahraga bela diri, terutama tinju. Rekan-rekan berlatihnya di sasana Wai Kru di Boston mengungkapkan, Tamerlan adalah atlet yang disiplin dan sangat berbakat. ”Dia petinju yang luar biasa. Keras, gesit, dan lincah. Dia seperti Michael Jordan di ring tinju,” ujar Marvin Castro, rekan satu sasana Tamerlan.

Cita-cita Tamerlan hanya satu, berlaga di Olimpiade mewakili AS. Dalam sebuah wawancara dengan majalah internal Universitas Boston pada 2010, Tamerlan mengatakan, dia ingin bertinju untuk AS. Impian itu sangat menggelora setelah Tamerlan menjuarai kejuaraan New England Golden Gloves pada 2009. Tamerlan berlaga di kelas berat.
Impian yang kandas

Namun, impian Tamerlan kandas. Otoritas AS tak kunjung memberinya kewarganegaraan Amerika. Menurut sejumlah
rekannya, di tengah rasa putus asa, Tamerlan menjadi tertarik pada gerakan radikal Islam. Biro Penyelidik Federal AS (FBI) mengungkapkan, Tamerlan terhubung dengan kanal Youtube tentang Feiz Mohammad, tokoh radikal Islam yang tinggal di Australia.

Feiz Mohammad. yang juga mantan petinju, tampaknya menjadi inspirasi bagi Tamerlan. Menurut laporan NEFA Foundation, lembaga yang mengamati kelompok-kelompok ekstremis daring, Feiz selalu mengampanyekan semangat berjihad bagi anak-anak muda.

Beberapa pekan lalu, seperti dilansir laman BBC News, program investigasi BBC Panorama mengungkapkan, Tamerlan rajin membaca literatur kelompok radikal sayap kanan AS yang mengecam dominasi kulit putih dan teori konspirasi pemerintah.

Dari penelusuran BBC Panorama terungkap, Tamerlan mempunyai sejumlah literatur tentang aksi teroris 9/11 serta pengeboman Oklahoma City tahun 1995. Menurut literatur itu, dua tragedi dalam sejarah AS tersebut merupakan hasil rekayasa alias konspirasi Pemerintah AS untuk menyudutkan Islam.

Kesaksian rekan-rekan Tamerlan menguatkan dugaan bahwa aksi radikalisme pemuda ganteng berhidung bangir itu terkait dengan keputusasaannya terhadap Amerika dan bacaannya di berbagai media yang memengaruhi cara berpikirnya.

Mike Rodgers, anggota Badan Komite Intelijen, mengatakan, selain keputusasaan dan pengaruh ”cuci otak” berbagai media yang mereka tekuni, radikalisme Tamerlan dan Dzhokhar dipengaruhi pandangan radikal Zubeidat, sang ibu. Zubeidat menyangkal habis-habisan tuduhan itu. (Anton Sanjoyo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com