Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Motivasi Jadi Teroris Lebih Banyak karena Pengaruh Teman dan Keluarga

Kompas.com - 09/08/2013, 10:19 WIB
L Sastra Wijaya

Penulis

SYDNEY, KOMPAS.com — Sebuah penelitian di Australia menyimpulkan bahwa motivasi seseorang menjadi teroris lebih banyak disebabkan karena pengaruh keluarga atau teman, bukannya dari berbagai bahan bacaan ekstrem yang tersedia di internet. Penelitian yang berlangsung selama empat tahun dilakukan oleh Universitas Monash di Melbourne, bersama dengan polisi Australia, dengan melakukan wawancara terhadap lebih dari 100 orang ekstremis di Australia, Indonesia, Eropa, dan Amerika Utara.

Menurut laporan ABC hari Kamis (8/8/2013), para peneliti juga berbicara dengan para pakar kontra terorisme guna memahami cara mencegah tindakan kekerasan oleh para ekstremis. Penelitian itu mengatakan bahwa para anggota militan dan teroris Australia memang berulang kali membaca bahan-bahan ekstrem di internet, tetapi banyak faktor lain yang lebih penting dalam membentuk perilaku mereka. Jaringan sosial dalam bentuk teman dan keluarga, termasuk kontak dengan mereka yang berjuang di luar negeri atau sudah pernah mengikuti kamp latihan teroris, menjadi pengaruh lebih kuat.

Peneliti Debra Smith mengatakan, mereka yang bergabung dengan kelompok teroris mirip dengan mereka yang terlibat dalam kegiatan anti-sosial seperti pengguna narkoba. "Bila saja seseorang tumbuh dalam keadaan normal, tetapi mereka kemudian memiliki hubungan emosional dengan seseorang yang terlibat dalam tindak kekerasan," kata Smith.

"Mungkin bisa disebut tidak beruntung bahwa mereka terlibat dengan seseorang yang melihat tindak kekerasan sebagai hal yang wajar dan sah," tambah Smith.

Seorang peneliti lainnya, Shandon Harris-Hogan, mengatakan, meski terorisme merupakan masalah yang masih relatif kecil di Australia, ada saja orang yang tertarik melakukan tindakan ekstrem. "Di Australia, kami belum melihat adanya contoh individu yang direkrut khusus ke dalam jaringan teroris. Yang terjadi adalah mereka yang memang tertarik dengan tindakan ekstrem saling mencari tahu dan akhirnya membentuk sebuah kelompok, jadi tidak ada rekrutmen aktif," kata Harris-Hogan.

Menurut laporan koresponden Kompas.com di Australia L Sastra Wijaya, dalam kesimpulannya, para peneliti mengatakan, tindakan keras terhadap kelompok ekstrem ini kurang efektif dalam mengatasi radikalisme dibandingkan intervensi dini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com