Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/03/2013, 08:20 WIB

Oleh: SM Noor

Duta Besar RI untuk Filipina Letjen Leo Lapoulisa baru bertugas selama delapan bulan ketika tiba-tiba Pemerintah Filipina meminta agar Pemerintah RI menarik kembali dubesnya tersebut.

Presiden Filipina Ferdinand E Marcos mengemukakan pernyataan persona nongrata (rasa tidak senang dalam tradisi diplomatik) atas pernyataan Leo Lapoulisa dalam surat kabar Bulletine Today Filipina, April 1982.

Leo Lapoulisa mengemukakan bahwa untuk memelihara persaudaraan dan kekerabatan antarnegara ASEAN, kiranya Pemerintah Filipina melepaskan saja klaimnya atas Sabah. Pernyataan Leo ini sungguh-sungguh membuat Marcos marah dan saat itu juga Marcos meminta Departemen Luar Negeri Filipina mengeluarkan surat pernyataan persona nongrata yang meminta Leo Lapoulisa segera meninggalkan Filipina dalam waktu 1 x 24 jam. Demi persahabatan dan hubungan baik dengan Filipina, Jakarta terpaksa menarik kembali Leo Lapoulisa.

Filipina sesungguhnya sampai hari ini belum mengeluarkan pernyataan resmi melepaskan klaimnya atas Sabah, suatu wilayah subur dan indah di timur laut Kalimantan. Filipina beranggapan, wilayah itu adalah wilayah nenek moyang mereka dan sudah ditempati turun-temurun Keluarga Sultan Sulu hingga Pemerintahan Federal Kerajaan Malaysia mengusir mereka. Karena itu, Filipina tidak akan melepaskan klaim yang berdasarkan sejarah tersebut sampai sekarang sekalipun pemerintah Benigno Aquino III meminta para penyusup bersenjata ke Sabah tersebut untuk menyerah.

Adalah sangat memprihatinkan sesungguhnya ketika Malaysia dengan emosional melakukan pengepungan bersenjata untuk mengusir para penyusup dengan paksa sehingga menewaskan 14 penyusup (Kompas, 2/3), disusul penyerangan lima polisi Malaysia (Kompas, 4/2). Insiden ini sesungguhnya memang cukup sulit penyelesaiannya karena sampai hari ini Filipina masih mengklaim Sabah adalah wilayah integral mereka.

Malaysia tentu saja tidak akan meminta bantuan Filipina untuk mendeportasi warga mereka. Bahkan, terkesan saran yang dilontarkan Presiden Aquino III setengah hati, tidak menunjukkan gelagat diplomatik yang serius. Negara-negara ASEAN lain juga tidak berani mengemukakan pernyataan penyelesaian karena wilayah ini sungguh merupakan wilayah yang sangat sensitif bagi kedua negara, bahkan wilayah panas bagi mereka berdua.

Batas klaim sejarah

Sebagai orang Maluku, kita tidak paham pernyataan yang dikemukakan Leo Lapoulisa di Bulletine Today tersebut meskipun menyangkut klaim unilateral yang dilakukan para raja atau dinasti berdasar klaim sejarah. Apa yang diklaim Belanda ketika memegang koloni di Indonesia adalah berdasarkan penetapan unilateral yang dilakukan raja-raja Nusantara. Sebagai contoh, Belanda mengklaim wilayah Papua Barat karena hal itu berdasarkan penetapan secara unilateral yang dilakukan Sultan Ternate.

Ketika Belanda datang sebagai penguasa koloni, ditetapkanlah seluruh Kepulauan Maluku, termasuk wilayah Papua Barat, sebagai batas wilayah kekuasaan Sultan Ternate. Sebagian wilayah itu sesungguhnya sudah dimasuki Inggris dari timur (Papua Niugini) dan dari selatan (Australia), tetapi Belanda tetap bertahan berdasarkan patok-patok yang ditetapkan Sultan Ternate. Atas dasar itulah, Belanda dan Inggris melakukan perjanjian di Den Haag dan menetapkan wilayah-wilayah batas yang mereka klaim masing-masing, dan Belanda tetap mempertahankan semua batas-batas wilayah yang ditetapkan Sultan Ternate secara unilateral.

Inggris mengakui klaim Belanda berdasar patok sejarah yang diletakkan Sultan Ternate dan menarik seluruh wilayah koloninya di Papua Barat. Contoh sama dilakukan klaim oleh unilateral yang dilakukan Sultan Bulungan di Kalimantan yang dijadikan dasar pada Perjanjian London yang melahirkan Konvensi London 1893 antara Belanda dan Inggris yang menjadi landasan perbatasan Kalimantan sekarang.

Berdasar catatan Profesor Harry Roque dari Universitas Filipina (Kompas, 5/3), pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan wilayah Sabah ke Sultan Sulu atas bantuan yang diberikan dalam melawan pemberontakan di Brunei. Pada masa penjajahan Inggris tahun 1878, wilayah Sabah disewa British North Borneo Company. Perusahaan ini membayar uang pajak senilai 1.600 dollar AS per tahun. Kontrak ini dipandang sebagai manifestasi pengakuan Inggris atas wilayah Kesultanan Sulu di Sabah. Uniknya, kontrak yang sama dibayarkan Malaysia ketika Inggris meninggalkan Sabah dan menyerahkan wilayah konsesi tersebut kepada Malaysia. Sewa yang dibayarkan Malaysia selama ini tetap dipandang sebagai manifestasi pengakuan Malaysia atas wilayah Kesultanan Sulu di Sabah.

Gambaran apa yang tampak dari petikan di atas menandai sesungguhnya bahwa penetapan batas negara berdasarkan sejarah (historical boundary) telah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law) sebagai awal penetapan batas wilayah negara. Contoh kasus yang paling populer kini adalah klaim China atas Laut China Selatan. China Menganggap seluruh wilayah Laut China Selatan adalah wilayah milik Dinasti Ming di bawah pemerintahan Kaisar Yung-lo (1473).

Ketika Yung-lo berkuasa, panglimanya yang bernama Cheng-ho membuat peta pelayarannya selama 15 tahun dan membangun wilayah gugus kepulauan di daerah selatan tersebut. Dalam peta yang dibuat Cheng-ho, wilayah-wilayah seluruh gugus kepulauan di Laut China Selatan tersebut disebutnya sebagai Nansha Chuntao. Meskipun demikian, penetapan berdasar sejarah memang sering kali menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena berbenturan dengan penetapan wilayah berdasar prinsip keadilan hukum (median line atau equidistance line).

Latar sewa-menyewa

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com