Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusia Berharap pada Sukhoi

Kompas.com - 01/03/2013, 13:46 WIB
Josephus Primus

Penulis

KOMPAS.com — Insiden kecelakaan pesawat terbang Sukhoi Superjet (SSJ) 100 di Gunung Salak pada 9 Mei 2012 silam memang  masih tak lekang di ingatan. Khususnya, bagi Kepala Perwakilan Sukhoi di Indonesia Alexander Shmakov dan Duta Besar Rusia  untuk Indonesia Mikhail Galuzin. Meski akhirnya diketahui bahwa penyebab kecelakaan saat joyflight itu adalah kesalahan manusia (human error) bukan lantaran teknologi mesin pesawat, dua tokoh tersebut tak mengelak kalau insiden yang menewaskan 45 orang tadi menjadi catatan bagi pengembangan Sukhoi ke depan. Baik Shmakov maupun Galuzin mengatakan hal tersebut dalam  sambutan keduanya pada inaugurasi pesawat perdana SSJ 100 pesanan Sky Aviation di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, kemarin.

Michail Galuzin dalam kesempatan itu menuturkan pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) setahun silam di Vladivostok, Rusia, yang menjadi awal kerja sama Negeri Beruang Merah dengan Indonesia sembari menyertakan Sukhoi. "Realisasi pesawat ini berasal dari pertemuan Vladimir Putin dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata Dubes Galuzin.

Sukhoi yang didirikan pada 1939 adalah pabrik industri pesawat terbang militer saat Uni Soviet masih berjaya. Nama Sukhoi berasal dari nama pendirinya Pavel Sukhoi. Sampai sekarang, nama yang kemudian menjadi ikon produk dengan kependekan Su itu masih tertera pada produk-produk jet tempur canggih mereka. Indonesia, saat ini juga mengoperasikan pesawat tempur Su 27 dan Su 30.

Bubarnya Uni Soviet berdampak pada masa depan perusahaan berbasis di Moskwa, Rusia itu. Maklumlah, saat masih bernama Uni  Soviet, produksi-produksi komponen pesawat dibuat di negara-negara yang menjadi bagian federasi itu. Tercatat, pabrik  komponen Sukhoi ada di Ulan Ude (Buryatia), Tbilisi (Belarus), dan Ukraina. Saat Uni Soviet tercerai-berai, pabrik-pabrik komponen itu pun otomatis berdiri sendiri.

Pesatnya industri pesawat terbang komersial dunia membuat ide berpaling ke pembuatan pesawat penumpang pun merasuk  manajemen Sukhoi. Alhasil, pada 1996, perlahan-lahan penyatuan itu menjadi kenyataan. Vladimir Putin adalah tokoh yang boleh disebut sebagai pembaru Sukhoi. Pada 2006, misalnya, Putin membenahi Sukhoi sekaligus menjadikannya sebagai badan usaha milik negara (BUMN) Rusia terintegrasi. Kendati begitu, ia tetap mempertahankan kerja sama erat pabrik komponen dalam ikatan Federasi Rusia. Payung perusahaan tersebut adalah United Aircraft Corporation (UAC).

SSJ 100 menjadi andalan Sukhoi untuk bersaing dengan produk-produk sekelas Embraer asal Brasil dan Bombardier dari Kanada. Kelas dimaksud adalah pesawat dengan kapasitas maksimal 100 penumpang dengan kemampuan mendarat di landasan pendek, yakni sekitar 1.800 meter. "Bahan bakarnya pun lebih irit, sekitar 2.000 liter per jam," kata CEO Sky Aviation Krisman Tarigan  dalam kesempatan peluncuran tersebut.

Walau direncanakan sejak 2000, SSJ 100 baru terbang perdana pada 19 Mei 2008. Sementara itu, SSJ 100 kali pertama melayani rute  komersial dari Armavia ke Yerevan pada 21 April 2011.

Indonesia

Catatan terkumpul menunjukkan kebangkitan Sukhoi merupakan upaya untuk menghapus kritik bahwa Rusia terbilang negara yang  kurang peduli pada keselamatan penerbangan. Untuk membuktikan kalau Rusia bisa menjadi lebih baik, Shmakov mengakui, pihaknya  memang mengutamakan kerja keras. Itu juga yang diamini oleh Krisman Tarigan. "Kecelakaan penerbangan juga terjadi pada pesawat-pesawat lain selain Sukhoi. Biarlah kerja keras dan waktu yang membuktikan kalau Sukhoi ini aman," imbuh Krisman.

Adapun belum lama ini, pada Minggu (24/2/2013), sebuah SSJ 100 gagal lepas landas dari Bandara Syeremetyevo, Moskwa, lantaran salah satu mesinnya tak berfungsi. Menurut warta Interfax, pesawat itu rencananya akan bertolak ke Kharkiv, Ukraina.

Media tersebut menulis, SSJ 100 itu gagal memacu kecepatannya sesuai standar. "Sistem mesin nomor satu rusak dan kru  pesawat memutuskan untuk membatalkan penerbangan," kata sumber di pengatur lalu-lintas penerbangan Bandara Syeremetyevo.

Kendati demikian, lepas dari kisah-kisah di tersebut, Shmakov mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang masuk dalam radar bisnis Sukhoi. Kendati alasannya terbilang klasik, jumlah penduduk besar dan wilayahnya luas, Indonesia adalah pasar potensial industri penerbangan.

Paling tidak, imbuh Shmakov, kebutuhan transportasi udara di Indonesia masih besar. Sementara itu, maskapai-maskapai  penerbangan yang melayani antarpulau relatif masih sedikit.

SSJ 100, kata Shmakov, dianggap mampu menjawab kebutuhan itu. Pesawat SSJ 100, misalnya, mampu terbang dengan ketinggian  hingga 40.000 kaki (1 kaki= 30 cm). Kemampuan ini setara dengan pesawat sejenis Boeing 737 varian terbaru seperti 737-800  NG dan 737-900.

Menurut rencana, Shukoi untuk kali pertama memberikan perhatian penuh kepada Sky Aviation dengan memasok 12 unit SSJ 100  hingga 2015. Secara bertahap, tahun ini ada 5 unit yang datang. Pada 2014 ada 3 unit dan sisanya akan komplet masuk ke Tanah Air pada 2015. "Kami juga akan menyiapkan fasilitas pemeliharaan ke depan," kata Shmakov.

Indonesia, lanjut Shmakov, adalah pasar pertama dunia untuk SSJ 100 di samping negara-negara bekas Uni Soviet. Di Asia Tenggara pun, Indonesia adalah pionir. "Pada tahap berikutnya, kami tengah menggarap pasar di Laos. Tapi, Indonesia tetap  yang terpenting," ujar Smakov sembari menambahkan bahwa Sukhoi juga tengah menjajaki penjualan SSJ 100 dengan salah satu maskapai penerbangan milik pemerintah Republik Indonesia.  

Shmakov meneruskan, total harga pesawat berikut suku cadang dan pemeliharaan untuk 12 unit SSJ 100 itu mencapai lebih dari 300 juta dollar AS. Seluruh pesawat nantinya akan melayani rute di Indonesia Timur dengan basis di Makassar, Sulawesi Selatan.

Di belahan dunia lainnya, Shukoi akan masuk ke negara-negara Amerika Latin, tetapi Shmakov belum mau menyebutkan nama negara-negara yang disasar di kawasan tersebut.

Tercatat sampai dengan 2025, Rusia mematok target penjualan pesawat terbang sampai dengan 250 miliar dollar AS demi bersaing dengan AS dan negara-negara Eropa lainnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com