Jakarta, Kompas -
”Mereka mengungsi sejak terjadi kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Ketapang, Lingsar, Lombok Barat. Terjadi pembiaran dan penelantaran sistemik oleh Pemerintah Kota Mataram, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan pemerintah pusat. Tidak ada kejelasan terhadap nasib mereka,” kata Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (4/2).
Dia menerangkan, anak-anak pengungsi tersebut sering dihina dan dianiaya oleh anak-anak sebaya mereka. Bahkan, ada 40-an anak yang atas biaya sendiri diungsikan ke Jawa Barat.
Firdaus, perwakilan jemaah Ahmadiyah, menegaskan, mereka kehilangan hak sebagai warga negara. ”Sudah biasa tempat ibadah dan rumah kami dirusak. Kami ini juga warga negara Indonesia. Kami punya hak sebagai warga negara, tetapi rasanya pemerintah di Indonesia itu tidak ada,” kata Firdaus terbata-bata.
Menurut Firdaus, pengungsi tinggal di ruang ukuran 2 meter
Bonar Naipospos mengatakan, kondisi penampungan di Asrama Transito sudah tidak ada aliran listrik. Bahkan, pasokan air sempat diputus sebelum diprotes dan akhirnya disediakan kembali. Tawaran transmigrasi dan relokasi ke sebuah pulau di NTB dari pemerintah hingga kini tidak ada kepastian tindak lanjutnya.
Sebagian besar pengungsi yang hidup sebagai pedagang bisa memenuhi kebutuhan hidup walau pas-pasan. Namun, kondisi memprihatinkan menimpa pengungsi yang bekerja sebagai petani. Mereka kehilangan lahan pertanian. Peneliti Setara Institute, Ismail Hasany, menerangkan, kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah dibiarkan berlarut-larut oleh penyelenggara negara.