Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hongkong Kewalahan Atasi Sampah Makanan

Kompas.com - 03/01/2013, 14:47 WIB

HONG KONG, KOMPAS.com — Hongkong membuang sekitar 3.600 ton bahan sepanjang tahun lalu. Angka ini naik 11 persen dari statistik yang sama tahun sebelumnya.

Hongkong juga menjadi negeri penghasil sampah makanan terbanyak dibanding beberapa kota di negara tetangganya.

Menurut kelompok pencinta lingkungan Friends of the Earth, tiap warga Hongkong membuang setengah kilo makanan setiap hari, sementara warga Singapura membuang 0,36 kg, warga Taiwan 0,35 kg, dan warga Seoul 0,29 kg bahan makanan tiap harinya.

Friends of the Earth meluncurkan kampanye mendorong warga Hongkong untuk mengurangi sedikitnya dua jenis menu makanan dalam tradisi jamuan untuk menandai peringatan pernikahan, transaksi bisnis penting, serta kesempatan khusus lainnya. Dalam tradisi jamuan makan ala Hongkong menu bisa dinikmati sampai 12 kali makan.

Sekitar dua per tiga sampah bahan makanan di Hongkong berasal dari buangan rumah tangga dan sisanya dari supermarket, toko bahan pangan, restoran, hotel, dan sekolah di kota itu. Jumlah sampah makanan dari kategori kedua ini terus meningkat dengan pesat.

Upaya untuk membujuk warga dan pihak swasta melakukan daur ulang makanan sulit dan jarang dilakukan.

Sebagian besar warga tinggal di apartemen tinggi sehingga tak ada lahan untuk membuat kompos sementara pemerintah kota juga tak memiliki prasarana untuk daur ulang bahan makanan yang memadai.

Persoalan sampah, makanan atau bukan, juga menjadi isu genting saat ini karena tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Hongkong sudah sangat sesak. Tiga TPA yang kini menjadi terminal barang buangan diperkirakan harus sudah ditutup 2018. 

Upaya baru

Dalam rangka mengurangi besarnya limbah bahan makanan, organisasi amal, badan usaha, dan ilmuwan mencoba sejumlah pendekatan baru.

Belasan organisasi swasta tergerak menggelar kegiatan daur ulang bahan makanan di Pasar Basah Tai Wo, di jantung Hongkong.

Sementara ilmuwan menawarkan bioteknologi sebagai jawaban, kata Carol Lin, seorang peneliti di universitas kota Hongkong.

Lin adalah pionir dalam teknik mengubah aneka bahan makanan buangan menjadi asam succinic, zat kimia yang umum dipakai dalam pembuatan plastik, kain, dan bahan berserat lain.

"Kami yakin proses ini menguntungkan meski bergantung pada besar skalanya," kata Lin.

Namun, belum ada pihak yang bersedia menanam investasi senilai 19 juta dollar Hongkong (sekitar Rp 24 miliar) untuk membangun pabrik pengolahan zat kimia ini, belum lagi ditambah penyediaan lahan yang sangat mahal.

Pemerintah kota juga berniat mencoba cara yang pernah sukses diterapkan di Taipei tahun 2000 dengan mengenakan tambahan biaya pembuangan sampah bila warga membuang limbah melebihi ukuran kantong sampah yang telah ditentukan.

Cara ini dianggap manjur di Taiwan sehingga volume buangan sampah diklaim turun drastis 62 persen.

Meski demikian, tak ada jaminan cara ini akan sukses pula diterapkan di Hongkong karena menurut survei yang digelar Friends of the Earth pada November lalu,  sebanyak 65 persen warga bersedia membayar tarif sampah lebih tinggi 52 persen dari tarif berlaku sebelumnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com