Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara Tahrir dan Nahdah

Kompas.com - 06/12/2012, 07:24 WIB

Antara Alun-alun Tahrir dan Nahdah terbentang jarak. Kedua tempat dipisahkan oleh Sungai Nil. Tahrir di wilayah Kairo, sedangkan Nahdah di Giza. Keduanya bersatu menjadi Kairo Raya.

Kini, zaman telah menempatkan Tahrir dan Nahdah di posisi yang tak hanya berbeda, tetapi juga berseberangan.

Sejak Revolusi 2011, semakin jelas bahwa Alun-alun Tahrir atau Alun-alun Kebebasan bukanlah alun-alun biasa. Ia menjadi lambang perjuangan: perjuangan melawan kekuasaan korup, kekuasaan tirani, kekuasaan yang lupa pada akarnya, yaitu rakyat! Di sinilah gerakan rakyat menagih janji, menuntut pertanggungjawaban penguasa, lebih dari setahun silam.

Di sinilah rakyat Mesir tak peduli apa agama mereka, berapa umur mereka, apa jenis kelamin mereka, apa warna dan ikatan politik mereka, apa ideologi mereka, semua bergandeng tangan, bersatu melawan rezim Presiden Hosni Mubarak. Tak ada satu pun partai politik yang mengibarkan benderanya. Tidak ada satu pun kelompok kemasyarakatan atau agama yang mempertontonkan simbol- simbol mereka. Mereka adalah rakyat, rakyat Mesir!

Slogan yang diteriakkan massa di Tahrir pun sama ketika itu: ”Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan”, ”Tumbangkan rezim yang berkuasa”, ”Tegakkan demokrasi”, ”Tegakkan hak asasi manusia”, ”Adili pemimpin korup”, dan ”Turunkan Mubarak!”.

Setelah Mubarak jatuh, Tahrir dicatat sebagai palungan demokrasi Mesir, bahkan tempat lahir demokrasi Mesir. Inilah Alun-alun Kebebasan. Di tempat ini rakyat dibebaskan dari cengkeraman pemerintahan diktator.

Namun, cerita berubah setelah presiden baru Mesir, Muhammad Mursi, dua pekan lalu menerbitkan dekrit presiden. Dekrit ini memberi kekuasaan sangat besar kepada presiden karena semua keputusan presiden adalah final, tak bisa dibatalkan siapa pun.

Kelompok oposisi, partai-partai nasionalis-sekuler berteriak menentang. Mereka menuntut dekrit dicabut, dan mereka kembali ke Tahrir untuk menyerukan tuntutan itu.

Tahrir pun kembali menjadi markas perjuangan, tetapi bukan perjuangan seluruh rakyat Mesir, melainkan perjuangan kelompok oposisi yang tak setuju pada dekrit Mursi.

Mereka juga menentang rancangan konstitusi baru yang dianggap tak demokratis, mengurangi hak-hak perempuan, dan mengkhianati revolusi. Di sini para tokoh nasionalis, seperti Mohamed ElBaradei serta mantan Menlu dan Sekjen Liga Arab Amr Mousa, berada.

Ketika Mursi seperti tak mengindahkan tuntutan mereka, seruan untuk menjatuhkan presiden pun kembali muncul. ”Turunkan Mursi! Turunkan Mursi! Turunkan Mursi!”. Itu yang mereka teriakkan dalam setiap pidato di Tahrir di antara ingar-bingar suara musik dan lantunan lagu-lagu kebangsaan.

Di tempat lain, sekitar 3 kilometer dari Tahrir, di dekat Monumen Nahdah atau Monumen Kebangkitan di depan Universitas Kairo, pendukung Mursi dan rancangan konstitusi baru berkumpul. Mereka adalah orang-orang Ikhwanul Muslimin (IM), orang-orang Partai Kebebasan dan Keadilan—sayap politik IM, orang-orang dari Partai Nour—sayap politik Gerakan Salafi, dan orang-orang dari Kelompok Jamaah Islamiyah.

Pemakaian kawasan Nahdah seolah melambangkan kebangkitan IM dan gerakan-gerakan Islamis lain di Mesir setelah revolusi. Ketika Revolusi 2011 bergejolak, mereka bergabung dengan rakyat Mesir lain di Tahrir, meneriakkan demokrasi, menuntut Mubarak mundur. Tak seorang pun saat itu memakai bahasa agama.

Namun, semua kini berbeda. Bahasa agama menguasai kawasan Monumen Kebangkitan. Sejak dari Qodri Jamiah (Jembatan Universitas) yang membentang di atas Sungai Nil hingga Monumen Kebangkitan yang berjarak sekitar satu kilometer, teriakan-teriakan, seperti ”Allah, lindungilah Mursi”, ”Allah, bersihkanlah media”, dan ”Rakyat ingin menegakkan syariat Allah”, terdengar di tengah lantunan doa dari pengeras suara.

Mesir telah memasuki babak baru: terbelah antara kelompok nasionalis-sekuler dan agama. Negeri yang dicatat sebagai palungan peradaban dunia itu kini menghadapi persoalan besar. Hendak ke mana Mesir menuju? Itulah pertanyaannya sekarang.
(Trias Kuncahyono dan Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir)

Berita terkait lainnya, baca di : Dekrit Mursi Picu Konflik Baru di Mesir

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com