Oleh: Sumiati Istrizain
kompasiana: Sumiatiistrizain
Pertengahan tahun 2005, aku mudik ke desa untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Suatu hari, ibu bercerita bahwa dia dan bapak telah mendaftar untuk menunaikan ibadah haji dan dapat jatah kursi tahun 2008.
Lantas aku berkata, ”Aku ikut naik haji, Bu....”
”Yuk, tapi bayar sendiri ya...,” jawab Ibu.
”Doakan ya, Bu, biar aku bisa ikut ibadah haji bersama.”
”Iya, saya doakan biar bisa terlaksana.”
Percakapan yang ditutup dengan doa ibu itu selalu membekas di benakku hingga kini. Dengan kekuasan Allah SWT, tahun 2008, aku benar-benar bisa melaksanakan ibadah haji bersama kedua orangtua, walau bukan dengan uangku sendiri, melainkan dari suami.
Allah memberiku jodoh beberapa bulan sebelum keberangkatan orangtua ke Tanah Suci. Jodohku adalah seorang lelaki yang tidak kukenal sebelumnya. Namun setelah diperkenalkan oleh seorang paman, akhirnya kami menikah pada bulan Agustus 2008.
Ibu dan ayah berangkat ke Tanah Suci pada bulan November 2008. Awalnya, aku berencana berangkat beberapa hari sebelumnya. Namun karena ada masalah visa, rencana itu tertunda. Saat itu, penumpang tujuan Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, hanya khusus untuk pemilik visa haji, TKW, dan TKI, sedangkan visaku adalah visa keluarga, dari suami yang telah berangkat duluan ke Arab Saudi.