Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bom Bali: Adat dan Toleransi

Kompas.com - 07/10/2012, 03:31 WIB

Jean Couteau

 

Kuta, Bali, 12 Oktober 2002. Waaaam. Suara maut terdengar sampai ke Denpasar. Dua ratus nyawa serentak diantar lidah api ke dunia seberang para arwah. Dalam sekejap, horor meliputi tempat-tempat yang kini entah sudah tiada atau meninggalkan kerangka suramnya: Paddy Club, Sari Club, dan sekitarnya. Menumpangi aliran sesat, Si Angkara Murka tiba-tiba hadir nyata, tak hirau kasih dan cinta mereka yang lenyap hangus tak bersalah.

Seusai maut menyambar, ketika masih terdengar ratapan tangis mereka yang luka, gema beritanya sudah dalam sekejap berkumandang sampai ke Jakarta, Moskwa, Adelaide, dan setiap pelosok dunia. CNN menggila, oplah Le Monde, NY Times, El Pais, dan Al Wetan naik mendadak. ”Indonesia di dalam cengkeraman kelompok militan…. Konflik peradaban… Bom teroris didalangi CIA”. Seakan-akan tafsiran bom Kuta bakal luput dari Bali untuk menjadi komoditas pertarungan politik internasional.

Sementara itu di Bali, bagaimana? Puluhan orang diduga tewas. Puluhan lain terluka, terbakar dengan mengenaskan. Belakangan diketahui, seusai pekerjaan forensik, bahwa jumlah keseluruhan korban adalah lebih dari 200, di antaranya 39 orang Indonesia. Bali shock! Keluarga-keluarga berduka. Bali dan Indonesia berkabung. Meskipun demikian, secara lokal, setelah ledakan maut itu, apakah terdengar seruan dendam di dalam dan dari luar banjar? Tidak! Lalu, apakah tersebar berita adanya masjid yang dibakar? Tidak juga!

Belasungkawa

Bali berbelasungkawa, tetapi tidak diam. Kelompok-kelompok relawan dan LSM, yang saat itu tak terdengar namanya, tahu-tahu langsung hadir membantu para korban. Yang paling cepat tiba di lapangan, konon, ialah relawan bimbingan Pak Haji Bambang, yang tak rela Islam dicemari oleh pelaku bom. Persaudaraan baru dibangun di dalam pembagian ratap tangis, saling bahu-membahu mencari keluarga yang hilang atau luka.

Jadi bom dijawab dengan ajaran Tatwam Asi, yang menyatakan ”Kau adalah Aku”. Dan memang, faktor ”kultural” adalah yang apriori paling menarik diangkat sebagai penjelasan atas reaksi lunak masyarakat Bali: bila masyarakat itu menolak wacana kebencian, tiada lain ialah karena perangkat pemikiran tradisionalnya menyediakan sarana tafsirnya.

Bom Kuta tidak ”dibaca” oleh kebanyakan orang Bali dengan teropong identitas modern, sebagai serangan terhadap Bali, tetapi melalui kerangka pemikiran kosmis agama Hindu-Bali, sebagai pertanda gonjang-ganjing semesta. Hal ini diperkuat oleh kejutan peristiwa itu, yang hadir secara mendadak di tengah suasana sosio-ekonomis yang relatif nyaman, di mana sumber kegelisahan lebih bersifat ”moral” daripada ”sosial”. Maka, bom ”dibalas” bukan dengan wacana kebencian, melainkan dengan cara yang paling indah nan paling ”Bali” pula, yaitu melalui ritual yang membersihkan dunia dari angkara dan keletehan (kotor).

Ritual agung tersebut ialah Pemarisudha Karipubhaya, yang diselenggarakan pada 13, 14, dan 15 November 2002. Kala itu, mantra-mantra pembersihan yang dilantunkan oleh para pendeta diiringi kelintingan genta magisnya serta-merta menghilangkan kegelapan yang telah meliputi pulau yang ingin tetap disebut sebagai Pulau Dewata. Bali menjadi hening dan damai.

Kini, sepuluh tahun setelah peristiwa ini, Bali tetap damai. Apakah karena kekuatan mantra? Boleh jadi. Apakah karena kekuatan mental masyarakatnya? Boleh jadi pula. Apa pun halnya, tak tersangkal bahwa ”kearifan lokal” telah menjadi penampung yang efisien dari guncangan teror yang telah menimpa Bali. Tradisi telah berfungsi sebagai perekat dan alat tafsir terbuka. Hal ini mesti disyukuri.

Tetapi belum tentu tafsiran tradisi hari esok bakal senantiasa ampuh menanggulangi guncangan-guncangan mendatang. Urbanisasi, perubahan komposisi etnis penduduk, dan aneka gejala dislokasi adat menuntut instrumen penanggulangan intelektual yang modern juga. Jangan-jangan over-idealisasi adat, di Bali dan di mana pun juga, menutup kemungkinan itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com