Kreativität Dance Indonesia mementaskan tiga tarian dalam rangkaian Festival Schouwburg X di Gedung Kesenian Jakarta pada 7-8 September. Salah satunya, koreografi karya Gerard Mosterd, Dan Ada Sebuah Kotak...
Seorang lelaki bersimpuh dalam kubus berukuran satu meter kubik, menari di dalamnya, merabai setiap dinding kubus hitam remang-remang itu. Tidak ada celah yang didapatkannya, ia bahkan tak bisa bangkit berdiri. Ia tak berhenti menari, mencari-cari dalam kegelapan, hingga sebuah sekat hitam menutup kotak yang mengungkungnya.
Di tepi lain panggung, lima pasang kaki menjuntai ke langit, berayun-ayun dalam terang, sementara tubuh pemilik kaki itu tersembunyi kegelapan. Kaki-kaki itu seperti berlari di udara, sekali berhenti, saling bertautan, entah saling berpagut atau saling jegal, lalu lepas dan berlarian lagi.
Dan Ada Sebuah Kotak...
Keterpanaan itu melahirkan gagasan Mosterd tentang pembebasan diri dari tradisi tubuh para penari. Gagasan yang lahir ketika Mosterd diajak Farida Oetoyo, pendiri Sekolah Pendidikan Tari Sumber Cipta, menggarap pertunjukan tari kontemporer para siswanya yang tergabung dalam Kreativität Dance Indonesia.
Mosterd menyebut balet sebagai tradisi tubuh yang sangat matematis, mengunggul-unggulkan komposisi tari yang simetris, mengedepankan gerak serba pasti yang bahkan mekanistis. Hal itu mewujud lantaran balet berkembang pada masa Renaisans Eropa yang juga mengagungkan akal dan rasionalitas. ”Saya tertantang membongkar tradisi tubuh matematis dan eksak itu,” ujar Mosterd.
Aktor dan koreografer, Rudy Wowor, dilibatkan menggarap dramaturgi kesembilan penari Kreativität, Althea Sri Bestari, Isabella Fiona, Nini Jonitasjah, Kevin Julianto, Ann Bella Nyo, Marich Prakoso, Nabila Rasul, Carolin Windy, dan Siko Setyanto.
”Pada akhirnya, kemerdekaan berpikir yang paling mendasar adalah teks, narasi. Gagasan karya tari saya sangat berkesesuaian oleh narasi Goenawan,” ujar Mostard.